Minggu, 14 April 2013

TAFSIR AYAT KEPEMIMPINAN PEREMPUAN



PENDAHULUAN
Latar Belakang
                Sejarah mencatat betapa suatu ketika perempuan dikenal sebagai makhluk kelas dua. Dalam masyarakat Hindu, keadaan perempuan tidak lebih baik. Dalam ajaran Manu dinyatakan  bahwa , “Wabah penyakit, kematian, racun, ular dan api kesemuanya lebih baik dari perempuan.” Istri harus mengabdi mengabdi pada suaminya bagaikan mengabdi pada Tuhan. Ia harus berjalan di belakangnya, tidak boleh berbicara  dsn tidak juga maka bersamanya selain dari sisanya. Bahkan, sampai abad ke- 17, seorang istri harus di bakar hidup-hidup pada saat mayat suaminya dibakar atau kalau ingin tetap hidup sang istri mencukur rambutnya dan memperburuk wajahnya bahwa dia terjamin tidak akan lagi diminati lelaki.  
                Kendati Eropa telah mengalami revolusi indstri (1750) dan perbudakan telah dikumandangkan penghapusannya, harakah dan martabat perempuan belum juga mendapat tempat yang wajar. Mereka bekerja di pabrik-pabrik tapi gajinya lebih rendah daripada laki-laki. Bahkan, di Inggris sampai dengan tahun 1805, mereka mengakui hak suami untuk menjual istrinya. Perempuan masa lampau juga dinilai tidak wajar mendapat pendidikan. Apakah dasar pembeda dari perlakuan ini? Sementara pakar berpendapat bahwa kenyataan biologis yang membedakan lelaki dan perempuan mengantar pada lahirnya pandangan harkat, martabat serta peran utama kedua jenis makhluk Tuhan ini. 
                Ada lagi yang berpendapat bahwa pembedaan harakah dan peran lelaki dan perempuan yang berkembang di masyarakat, umat manusia itu lebih banyak diakibatkan oleh budaya serta pandangan agama dan kepercayaan masyarakat. Sementara itu, Agama sering kali dijadikan dalih untuk pandangan negatife tersebut. Contohnya, dalam fenomena kepemimpinan perempuan. Banyak dari tokoh masyarakat yang mendiskreditkan andil perempuan dalam kepemimpinan bertolak dari doktrin agama. Apakah benar seperti itu?  Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini penulis akan mencoba mengulas terkait.
1.       Apa defenisi tentang pemimpin?
2.       Apa saja prinsip-prinsip kepemimpinan?
3.       Bagaimana ayat al-Qur’an memandang kepemimpinan Perempuan?

                Semoga pembahasan ini akan bermanfaat dan menambah pandangan pembaca dan juga penulis mengenai masalah kepemimpinan Perempuan  dan segala problematika dehumanisasi perempuan khususnya yang banyak terjadi disekitar kita.

  
  

BAB II
PEMBAHASAN
1.     Defenisi Pemimpin
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawaban atas orang-orang yang dipimpinnya di Hari Kiamat kelak.”[1]
                Secara bahasa alam beberapa literature disebutkan varian akar kata pemimpin , diantaranya yaitu:
                a. Imam: Asal katanya ‘Amama’ karena ia: Berada di depan (amam), mengasuh (ummah), menyempurnakan (atammah), menenangkan (yanamma). Berkata Imam Al-Jauhary : Imam adalah orang yang memberi petunjuk (yuqtada).[2]
                b. Amir: Yang memberi perintah (seperti dalam ayat : Amarna mutrafiha), juga sesuatu yang mengagumkan (seperti dalam ayat : laqad ji’ta syai’an imra).[3]
                c. Waliyy: Dekat, akrab (Jalasa mimma yali=duduk dengan orang didekatnya); tempat memberikan loyalitas (ALLAHumma man waliya min amri ummati).[4]
                d. Qadah atau qiyadah: Penggiring ternak, orang yang memberi petunjuk, pemandu atau penunjuk jalan.[5]
                e. Khalifah: Para fuqaha’ mendefinisikannya sbg suatu kepemimpinan umum yg mencakup urusan keduniaan & keagamaan, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi SAW yang wajib dipatuhi oleh seluruh ummat Islam. Menurut Imam Al-Mawardi sama dengan al-Imamah, karena inilah asal dari kepemimpinan di masa Nabi SAW, yaitu untuk memimpin agama & keduniaan.[6] Menurut Ibnu Khaldun yaitu penanggungjawab umum dimana seluruh urusan kemaslahatan syari’at baik ukhrawiyyah maupun dunyawiyyah kembali kepadanya.[7]
                Kata khalifah berasal dari akar kata “kh-l-f” yang dalam al-Qur’an disebut sebanyak 127 kali dalam 12 kata jadian. Maknanya berkisar diantara kata kerja “Menggantikan”, Meniggalkan” atau kata benda “Pengganti” atau “Pewaris”. Secara terminologis, kata ini mengandung setidaknya dua makna ganda. Di satu pihak, khalifah diartikan sebagai kepala Negara dalam pemerintah dan kerajaan Islam masa lalu, yang dalam konteks kerajaan pengertiannya sama dengan sultan. Di lain pihak, khalifah juga  bisa berarti dua macam. Pertama yang diwujudkan dalam jabatan sultan atau kepada Negara. Kedua, fungsi manusia itu sendiri di muka bumi sebagai ciptaan Allah yang sempurna.
                Sehubungan dengan pengertian pertama, Ulama-sarjana asal Pakistan Abu A’la al Maududi mengarang sebuah buku yang berjudul Al-Khilafah wal Mulk. Menurutnya, istilah khilafah berasal dari akar kata yang sama dengan khalifa, yang berarti pemerintahan atau kepemimpinan. Khilafah, sebagai turunan dari kata khalifah adalah teori islam tentang Negara dan pemerintahan.[8]
                Lebih lanjut Ibnu Khaldun dalam bukunya Muqaddimah, banyak berbicara mengenai khilafah, khalifah dan Imamah [Kepemimpinan]. Dia menarik teorinya tentang khilafah dari al-Qur’an. Dalam penjelasannya, ia antara lain mengatakan bahwa manusia mempunyai kecenderungan alami untuk memimpin karena mereka diciptakan sebagai khalifah Allah di muka bumi. Menurut Ibnu Khaldun, khilafah adalah kepemimpinan. “Khilafah berubah menjadi pemerintahan berdasarkan kedaulatan” katanya. Kalau khilafah bersifat pribadi, pemerintahan adalah kepemimpinan yang sudah melembaga ke dalam suatu system kedaulatan. [9]
                Pemimpin dan kepemimpinan dalam islam punya rujukan naqliyah, artinya ada isyarat-isyarat al- Qur’an yang memperkuat perlu dan pentingnya kepemimpinan dalam system sosial. Selain itu, kepemimpinan dalam arti khalifah dan khilafah sudah terpratekkan bahwa dalam kepemimpinan ini ada prinsip-prinsip yang harus dilakukan yaitu adanya keadilan (al-‘adl), amanat (amanah) dan musyawarah (syuro).  Ketiga prinsip ini akan dipaparkan pada bagian selanjutnya. [10]

2.      Prinsip-Prinsip Kepemimpinan
                Ada beberapa prinsip-prinsip kepemimpinan yang sudah di singgung di muka. Dalam makalah ini penulis akan mengangkat dua prinsip dasar, yaitu amanah dan ‘Adil.
1.       Amanah
Ada ungkapan menarik bahwa “Kekuasaan itu amanah karena itu harus dilaksankan dengan penuh amanah”. Ungkapan ini menyiratkan dua hal. Pertama, apabila manusia berkuasan di muka bumi, menjadi khalifah, maka kekuasaan yang diperoleh sebagai suatu pendelegasian kewenangan dari Allah dari Allah SWT. [Delegasian of Authority] karena Allah sebagai sumber kekuasaan. Dengan demikian, kekuasaan yang dimiliki hanyalah sekadar amanah dari Allah yang bersifat relative, yang kelak harus dipertanggung jawabkan di hadapan-Nya.

Kedua, karena kekuasaan itu pada dasarnya amanah, maka pelaksanaannya pun perlu amanah. Amanah dalam hal ini adalah sikap penuh pertanggung jawaban, jujur dan memegang teguh prinsip. Amanah dalam arti sebagai prinsip atau nilai.
Fazlur Rahman, Guru besar di Universitas Chicago dalam bukunya Major Theme of The Qur’an  mengaitkan arti amanah ini dengan fungsi kekhalifahan manusia. Ini bisa dipahami dari pernyataan Allah al-Qur’an QS. Al Ahzab 33: 72.

إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا.
 ( الأحزاب 72)
                    Artinya:
                                    Sungguh aku telah menawarkan pada langit, bumi dan gunung-gunung tetapi merka enggan menerimanya karena takut mengkhianatinya. Tapi manusia bersedia memikulnya meskipun ia sungguh dzalim dan bodoh sekali. [Al Ahzab/ 33: 72]

                    Para Mufassir memang berbeda pendapat dalam mengartikan amanah dalam ayat ini.  Ada yang mengatakan bahwa manah di sini diartikan “Hukum-hukum Ketuhanan” [The devine law] atau sunnnatullah. Tetapi, ada yang mengaitkan dengan fungsi khalifah manusia. Ini dikaitkan dengan pernyataan dalam surat al-Baqarah/ 2; 30-33 seperti disinggung di muka. Agaknya, dasar yang dipakai manusia karena menerima amanah ini karena ia diberi kemampuan oleh Allah yang memungkinkan mengemban amanah itu. Kemampuan itu adalah “Wa’allama adamal al- Asma kullaha” dan Allah mengajarkan pada Adama untuk mengeja setiap benda yang berarti pengalaman, pengetahuan dan potensi ilmu yang dimilikinya.  [11]

Dengan demikian, amanah adalah salah satu prinsip kepemimpinan. Nabi Muhammad SAW disebutkan memiliki empat cirri kepemimpinan. Yaitu, Shiddiq [Jujur], amanah [Dapat dipercaya], tabhligh [Berkomunikasi dan komunikatif], dan Fathanah [Cerdas Pengetahuan]. Ada sebuah Hadits riwayat Bukhari dan Muslim yang menyebut istilah amanah tetapi secara jelas berintikan nilai amanah, sebagai berikut:

“Tiap kamu adalah penggembala [Pemimpin] dan tiap kamu akan dimintai pertanggung jawaban dari gembalanya. Maka seorang pemimpin yang memimpin orang banyak adalah gembala yang akan dimintai pertanggung jawaban atas gembalanya. Seorang Istri adalah gembala rumah tangga suaminya dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas gembalanya. Anak adalah gembala pada rumah tangga bapaknya dan seorang bapak akan dimintai pertannggungjawabannya. Ketahuilah, tiap-tiap kamu adalah pemimpin dan masing-masing kamu akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinanya ”

Oleh sebab itu, menurut konsep Islam, semua orang adalah pemimpin. Dan setiap orang harus mempertanggungjawabkan tindakannya kepada sesamanya dan kepada Tuhan di akhirat. [12]



2.       ‘Adil
Pengertia’Adil dalam budaya Indonesia sebenarnya bersumber dari agama Islam yaitu dari kata arab “Adl”. Namun, dalam al-Qur’an pengertian adil paling tidak diwakili oleh dua kata, yaitu ‘adl dan qisht . Dari akar kata “a-d-l” disebut sebanyak 14 kali dalam al-Qur’an, sedangkan “q-s-t”  diulang sebanyak 15 kali. Namun demikian, dalam pembahasan ini tidak mungkin dapat diungkapkan secara detail dalam makalah ini.

Pemerintah atau pemimpin  selalu berhadapan dengan masyarakat yang terdiri dari kelompok-kelompok. Proses politik juga berhadapan dengan berbagai kelompok golongan. Seorang yang terpilih pemimpin harus mampu berdiri di atas semua golongan. Untuk itu diperlukan sifat adil. Dalam surah al-Maidah / 5;8 ada firman yang menyebutkan keadilan sampai tiga kali.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ لِلّهِ شُهَدَاء بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى……….الأية.
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap orang terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah  karena adil itu lebih dekat kepada takwa…..”

Jadi, berbuat adil adalah standar minimal bagi perilaku manusia apakah dia sebagai saksi [dalam arti luas], penguasa, pemerintah dan pemimpin atau “orang biasa”. Kalau menurut islam semua orang adalah pemimpin, maka secara otomatis harus menegakkan keadilan diamanapun dia berada.[13]

3.      Kepemimpinan Perempuan
               
        Berbicara mengenai perempuan dalam al-Qur’an mengaharuskan kita untuk memulai dari awal tentang bagaimana al-Qur’an memposisikan perempuan. Ayat al-Qur’an yang popular dijadikan rujukan dalam pembicaraan mengenai perempuan biasanya berangkat dari dari surah al-Nisa’ ayat 1:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا.
Artinya:
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”

Perbedaan penafsiran di kalangan mufassir tentang penciptaan perempuan itu berangkat dari ayat ini yaitu ketika memahami kata “nafs” . Di kalangan mufassir masa lalu memahami kata “nafs” dengan Adam. Beberapa Ahli tafsir tersebut antara lain seperti al-Thabari (W.130 H), al Zamakhsyari (W. 538) al Qurthubi (W. 671), Ibnu Katsir (W. 774), Jalaluddin al-Suyuti (W. 911 H) dan lain-lain. Berangkat dari pandangan inilah kemudian muncul kesan negative terhadap perempuan dan perempuan itu berasal dari laki-laki (Adam). Hal itu bersumber dari penafsiran hadits riwayat al-tirmidzi dari Abu Hurairah yang menyatakan “ Saling memesanlah kamu untuk berbuat baik kepada perempuan, karena mereka diciptakandari tulang rusuk yang bengkok” (HR. al-Tirmidzi).

Kemudian, hadits tersebut dipahami ulama terdahulu secara apa adanya (harfiyah), namun ulama kontemporer memahaminya secara metamoforis, bahkan ada yang menolak keshahihan hadits tersebut. Bagi kalangan metaforis, hadits ini memeringatkan kaum lelaki untuk memperlakukan perempuan secara bijaksana karena ada sifat, karakter, dan kecenderungan yang tidak sama dengan lelaki. Upaya untuk meluruskan tulang yang bengkok itu akan berakibat fatal dan kemungkinan akan patah. [14]  
[------- ada istilah kedokteran yang menerangkan sifat kelembutan dan kekuatan lelaki dalam kasus tertentu]

Analisis wacana gender bertujuan untuk menghindari pemahaman antagonistic dalam waktu dan tempat.oleh karena itu peristiwa masa lalu harus dilihat dalam konteks sejarahnya. Dalam memahami suatu ayat kita tak boleh lepas dari memahami konstruksi social dimana ayat tersebut diturunkan dan apa sebab turunnya.
Wacana kepemimpinan dalam prespektif islam berakar dari hasil penafsiran surat an-nisa’ ayat 34 yang berbunyi :
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا.
         
.Artinya :
 kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan karena allah telah melebihkan sebagian mereka(laki-laki) atas sebagian yang lain(perempuan) dank arena mereka(laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka .Sebab itu maka perempuan yang saleh ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada oleh karena allah telah memelihara mereka (Q.S An-Nisa ayat 34)

         Ayat ini banyak ditafsiri secara tekstual sehingga terkesan sarat akan bias gender dan juga seringkali dijadikan legitimasi atas superioritas laki-laki. Dalam tafsir mutaqoddimin karangan ibnu katsir misalnya, lafad qowwamun pada ayat ini ditafsiri dengan pemimpin (rois), penguasa (kabiir), hakim dan pendidik (muaddib) bagi perempuan hal ini karena kelebihan (fadhhol) yang dimiliki laki-laki. Ibnu katsir menambahi kelebihan tersebut adalah dalam hal keutamaan dengan kata lain laki-laki lebih utama dan lebih baik daripada perempuan,karena alasan ini jugalah -menurut ibnu katsir- nubuwwah dan kepemimpinan hanya dikhususkan untuk laki-laki.[15]
                Adapun dalam tafsir Al Misbah Ustadz Quraish Shihab menerangkan, Ayat yang lalu (ayat 32) melarang berangan-angan serta iri menyangkut keistimewaan masing-masing manusia, baik pribadi maupun kelompok atau jenis kelamin. Keistimewaan yang dianugerahkan Allah itu antara laki-laki dan perempuan. Kini fungsi dan kewajiban masing-masing jenis kelamin, serta latar belakang perbedaan itu disinggung oleh ayat ini dengan menyatakan bahwa: Para lelaki, yakni jenis kelamin laki-laki atau suami adalah qawwamun, pemimpin dan penanggung jawab atas para wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain dan karena mereka, yakni laki-laki secara umum atau suami telah menafkahkan sebagian dari harta mereka untuk membayar mahar dan biaya hidup untuk isteri dan anak-anaknya.
Kata [الرجال]  adalah bentuk jamak dari kata [رجل]  yang biasa diterjemahkan lelaki, walaupun al Qur’an tidak selalu menggunakannya dalam arti tersebut. Banyak ulama’ yang memahami kata ar – rijal dalam ayat ini dalam arti para suami. Penulis tadinya, ikut mendukung pendapat itu. Dalam buku “Wawasan al-Qur’an”, penulis kemukakan bahwa ar-rijalu qawwamuna ‘alan nisa’, bukan berarti lelaki secara umum karena konsideran pernyataan di atas, seperti ditegaskan pada lanjutan ayat adalah “karena mereka [Para Suami] menafkahkan sebagian harta mereka” yakni untuk isteri-isteri mereka.
Seandainya yang dimaksudkan dengan kata “ lelaki’’ adalah kaum pria secara umum, maka tentu konsiderannya tidak demikian. Lebih-lebih lagi lanjutan ayat tersebut dan ayat berikutnya secara amat jelas berbicara tentang para istri dan kehidupan rumah tangga.
Tetapi kemudian penulis menemukan tulisan Muhammad Thahir Ibn Asyur dalam tafsirnya mengemukakan satu pendapat yang amat perlu dipertimbangkan yaitu bahwa kata ar-Rijal tidak digunakan oleh Bahasa Arab, bahkan bahasa al-Qur’an dalam arti suami. Berbeda dengan kata [النساء]  atau [إمرأة]  yang digunakan untuk makna Istri.
Menurutnya: Penggalan awal ayat di atas berbicara secara umum tentang pria dan wanita dan berfungsi sebagai pendahuluan bagi penggalan kedua ayat ini, yaitu tentang sikap dan sifat isteri-isteri shalehah.
Kata [قوّامون] adalah bentuk kata jama’ dari kata qawwam yang terambil dari kata “qama”. Kata ini berkaitan dengannya. Perintah shalat-misalnya juga menggunakan akar kata itu. Perintah tersebut bukan berarti perintah mendirikan shalat, tetapi melaksanakannya dengan sempurna, memenuhi segala syarat, rukun dan sunnah-sunnahnya. Seorang yang melaksankan tugas itu sesempurna mungkin berkesinambungan dan berulang ulang, maka dia namai qawwam. Ayat di atas menggunakan kata jamak yakni qawwamun sejalan dengan makna kata ar Rijal yang berarti lelaki banyak. Seringkali kata ini diterjemahkan dengan pemimpin. Tetapi, seperti terbaca dar maknanya di atas-agaknya terjemahan itu belum menggambarkan seluruh makna yang dikehendaki, walau harus diakui bahwa kepemimpinan merupakan satu aspek yang dikandungnya atau dengan kata lain, dalam pengertian “Kepemimpinan” tercakup pemenuhan kebutuhan, perhatian, pemeliharaan, pembelaan dan pembinaan.
Kepemimpinan untuk setiap unit merupakan suatu yang mutlak, lebih-lebih bagi setiap keluarga. Karena mereka selalu bersama dan merasa memiliki pasangan dan keluarganya. Persoalan yang dihadapi suami istri selalu muncul dari sikap jiwa yang tercermin dalam keceriaan wajah atau cemberutnya, sehingga persesuaian dan perselisihan dapat muncul seketika tapi boleh jadi sirna seketika. Kondisi seperti ini membutuhkan adanya seorang pemimpin, melebihi kebutuhan satu perusahaan yang bergelut dengan angka-angka bukan dengan perasaan serta diikat oleh perjanjian rinci yang dapat diselesaikan melalui pengadilan. Nah, siapakah yang harus memipin? Allah SWT> Mendapatkan lelaki sebagai pemimpin dengan perttimbangan pokok yaitu.
Pertama, [بما فضل الله بعضهم علي بعض]  karena Allah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, yakni masing-masing memiliki keistimewaan. Tetapi, keistimewaan yang dimiliki lelaki lebih menunjang tugas kepemimpinan daripada keistimewaan yang dimiliki perempuan. Di sisi lain keistimewaan perempuan lebih menunjang tugasnya sebagai pemberi rasa damai dan tenang kepada serta lebih mendukung fungsingnya dalam mendidik dan membesarkan anak-anaknya.
Kedua, [بِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ]  disebabkan karena mereka telah menafkahkan sebagian harta mereka. Bentu kata kerja past tence atau masa lampau yang digunakan ayat ini “telah menafkahkan” menunjukkan bahwa memberi nafkah kepada wanita telah menjadi suatu kelaziman bagi laki-laki, serta kenyataan umum dalam masyarakat ummat manusia sejak dahulu hingga kini. Sedemikian lumrah hal tersebut sehingga langsung digambarkan dengan bentuk kata kerja masa lalu yang menunjukkan sejak masa dahulu. Penyebutan konsideran itu oleh ayat ini menunjukkan bahwa kebiasaan lama itu masih berlaku sampai sekarang.[16]
               
                Salah satu hadis yang sering dijadikan alasan untuk mendukung ayat di atas ialah, Barangsiapa yang menyerahkan urusan mereka kepada kaum perempuan maka tidak pernah memperoleh kemakmuran. Hadis ini dipopulerkan oleh Abu Bakrah, salah seorang mantan budak yang dihadapkan oleh suatu kondisi sulit, dimana harus memilih antara mendukung Ali, khalifah keempat dan suami Fatimah anak kesayangan Nabi, atau mendukung 'Aisyah, istri kesayangan Nabi dan putri Abu Bakar, khalifah pertama. Dalam posisi seperti ini, Abu Bakrah mempopulerkan hadis di atas.
                Hadis di atas sesungguhnya respons Nabi setelah mendengarkan Raja Persi bernama Kisra yang wafat dan kekuasaannya digantikan oleh putrinya. Nabi memahami betul kondisi kerajaan Persi yang tengah menghadapi musuh bebuyutannya, Kerajaan Romawi. Dan ternyata kemudian Heraklius menginvasi Persia dan menduduki Ktesiphon. Munculnya hadis ini ternyata juga dilatarbelakangi oleh suatu sebab khusus yang sifatnya kondisional.
]لن يفلح قوم ولّو أمرهم إمرأة[
“Tidak akan Berjaya satu kaum yang mnyerahkan urusan mereka kepada perempuan” [HR. Ahmad, BUkhari, an-Nasai dan at-tmidzi melalu Bakrah.][17]
                Dalam hal ini, dunia arab sebagai tempat turunnya Al-Qur’an dan nubuwwah dikatakan sangat berperan besar dalam terbentuknya prespektif dan penafsiran-penafsiran yang patrialistik. Wacana tentang perempuan yang diproduksi dunia arab secara global bersifat sektarian-rasialistik, dalam pengertian bahwa ia memperbincangkan keabsolutan perempuan dan menempatkannya dalam hubungan komparatif dengan keabsolutan laki-laki. Ketika suatu pola hubungan bahwa antara kedua pihak terdefinisikan dan dari situ salah satunya harus tunduk dan takluk kepada yang lain serta masuk secara patuh ke dalam otoritasnya, maka biasanya pihak yang menganggap dirinya berkuasa membangun wacana yang sektarian rasialistik dengan segala makna yang signifikansi ketiga kata di atas(tunduk, takluk, patuh).[18]

Kontekstualisasi Ayat
                Wacana Ratu Balqis dapat dijadikan renungan bagi bangsa Indonesia yang baru saja usai menyelenggarakan pemilihan umum. Keberhasilan Megawati Soekarnoputri meraih suara terbanyak sudah merupakan suatu kenyataan. Persoalan yang muncul kemudian, bisakah Megawati menjadi orang nomor satu di Republik yang dipadati oleh umat Islam?
                Pertanyaan ini mempunyai bobot yang sangat penting karena wacana konseptual mengenai kepemimpinan perempuan belum pernah tuntas di dalam lintasan sejarah dunia Islam. Banyak sekali perempuan kandidat pemimpin tetapi tercekal oleh efektivitas isu agama. Tidak sedikit jumlah laki-laki kandidat pemimpin yang underdog menjadi unggulan karena saingan terberatnya seorang perempuan. Agak ironis memang, ada yang terorbit dan ada yang tersungkur hanya disebabkan oleh faktor jenis kelamin. Tidak sedikit pula pemimpin perempuan (sulthanah) harus berhenti di tengah jalan karena isu agama. Termasuk di antaranya tiga Sultanah yang pernah memerintah secara berkesinambungan di Aceh pada abad ke-14, yaitu Sulthanah Khadijah, Sulthanah Maryam, dan Sulthanah Fatimah akhirnya harus terputus karena fatwa Qadhi Mekah. Alasan fatwa itu, perempuan tidak ditolerir menjadi pemimpin (sultanah) karena dianggap menyalahi kodratnya sebagai perempuan. Padahal, Al Quran jelas-jelas tidak membenarkan adanya diskriminasi berdasarkan etnis, ras, dan jenis kelamin (49:13). Seorang kandidat pemimpin dari jenis perempuan, selain harus memiliki persyaratan dan kemampuan formal juga seolah-olah harus "direstui" oleh laki-laki.[19]

Menurut saya:
 Laki-laki dan Perempuan itu mempunyai peran yang baik dalam sebuah meja kepemimpinan, jika standarnya tidaklah hanya ranah public. Melainkan juga dalam ranah domestik. Bukankah adanya pendeskreditan perempuan dalam hal kepemimpinan, itu dikarenaka atas anggapan bahwa kesuksesan pada ranah domestic tidaklah hal yg terdepan? Toh, bukannya kesuksesan bangunan masyarakat itu berawal dari unit terkecil yaitu keluarga. HIDUP PEREMPUAN. HIDUP PEJUANG SEJATI, IBU
Ex: Sayyidah Khodijah, Sayyidah Aisyah, Ibunda Imam Syafi’I and…. Our beloved Mother, he he
Do U agree with me???




BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
                Al Qur’an adalah firman Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman umat manusia dalam menata kehidupannya agar memperoleh kebahagiaan lahir dan bathin di dunia dan di akhirat kelak. Konsep-konsep yang ditawarkan al Qur’an selalu relevan dengan problema yang dihadapi manusia karena-al Qur’an turun berdialog dengan setiap umat dalam segala zaman sekaligus menawarkan pemecahan masalah terhadap problema yang dihadapi. 
                Konteks sosial ketika suatu ayat diturunkan seharusnya perlu diperhatikan. Al-Quran diturunkan dengan latar belakang sosio-historis Arab, maka kita harus sadar bahwa al-Quran adalah respon Ilahi terhadap kultur Arab(yang patriarkis), karenanya yang harus kita cari dari ayat-ayat Al-Qur’an adalah semangat ideal moral yang lebih luas yang bisa diterapkan disegala masa dan tempat. Berkenaan dengan posisi wanita, yang harus kita cari adalah semangat egaliter yang sering ditekankan Al-Qur’an.
                Bertumpu pada prinsip itulah, sangat ironi jika perempuan di anggap sebagai makhluk kelas dua. Hak-hak dan martabat mereka selalu dibatasi hanya pada ranah domestik. Dikarenakan banyak teks-teks agama ketika dibaca secara literal akan melahirkan penafsiran yang mendiskreditkan kedudukan dan perempuan dalam lingkup yang lebih luas. Dengan doktrin tersebut pula superioritas laki-laki begitu menonjol dalam setiap lini kehidupan. Akan tetapi, saat kita bisa lebih komprehensif dalam menafsiran setiap ayat-ayat al Qur’an maka sebuah keniscayaan dapat dipahami bahwa al Qur’an memang sholih likulli zaman dan bentuk rahmat bagi semesta alam.
                  Perempuan dan Laki-laki pada hakikatnya sama dihadapan Allah. Yang membedakan hanya ketakwaan mereka yang termanifestasi dalam amal atau sikap yang saleh. Kesadaran seperti ini sangat penting untuk menghindari diskriminasi dan distorsi peran wanita dalam kehidupan keluarga maupun sosial.


DAFTAR PUSTAKA

-          Al Munawar, Said Agil Husain, Al-Qur’an membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Ciputat: PT Ciputat Press, 2005
-          Shihab, M Quraish, PEREMPUAN, Tangerang: Lentera Hati, 2005.
-          Hasan, Dr Hamka, Tafsir Gender Studi Perbandingan antara Tokoh Indonesia dan Mesir,  Diterbitkan oleh:  Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2009.
-          Muhtarom, “Perempuan dalam Pandangan Mufassir Indonesia” Journal Teologia: Volume 15, Nomor 1, Januari 2004.


[1] HR Bukhari, XXII/43 no. 6605; Muslim, IX/352 no. 3408
[2] Lisanul Arab, Ibnu Manzhur, XII/22
[3] Lisanul Arab, III/370
[4] Ash-Shihah fil Lughah, Al-Jauhary, I/22
[5] Al-Qamus Al-Fiqhi, I/388
[6] Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, Al-Mawardi, hal.3
[7] Al-Muqaddimmah, Ibnu Khaldun, hal.180
[8] Said Agil Husain Al Munawar, Al-Qur’an membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Ciputat: PT Ciputat Press, 2005, H. 194
[9] Ibid, H. 196
[10]Said Agil Husain Al Munawar, Al-Qur’an membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Ciputat: PT Ciputat Press, 2005, H. 197
[11]Said Agil Husain Al Munawar, Al-Qur’an membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Ciputat: PT Ciputat Press, 2005, 200
[12]Said Agil Husain Al Munawar, Al-Qur’an membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Ciputat: PT Ciputat Press, 2005 203
[13] Said Agil Husain Al Munawar, Al-Qur’an membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Ciputat: PT Ciputat Press, 2005 [Resume hal 203-207]
[14] Ibid, 224

 [15] 292,   تفسير القرآن العظيم للامام أبو الفداء إسماعيل بن عمر بن كثير القرشي الدمشقي, دار طيبة للنشر والتوزيع

[16] Shihab. M Quraish, Tafsir Al- Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Lentera Hati; 2000
[17] M Quraish Shihab, PEREMPUAN, Tangerang: Lentera Hati, 2005. H.383.
[18] Nasr Hamid Abu zayd,Dekonstruksi Gender,.(Jogjakarta: Samha, 2003) hlm. 1
[19] Nasharuddin Umar [http://groups.yahoo.com/group/melb-disc/message/914]