I.
BIOGRAFI
Asghar ali
engineer lahir pada tanggal 10 Maret 1939 dalam sebuah keluarga priyayi
ortodoks di Bohra. Bohra merupakan daerah yang masyarakat muslimnya menganut
aliran syi’ah ismailiyah. Ayahnya bernama Sheikh Qurban Husain, dan ibunya bernama
Maryam.
Meskipun ia
seorang penganut syi’ah ismailiyah yang fanatik tapi berpikiran terbuka dan
menunjukkan perhatian besar ketika orang-orang yang berbeda keyakinan
mengajaknya berdialog. Sejak kecil, Asghar telah terbiasa menyaksikan ayahnya
berdialog dengan para pemuka agama lain, menyaksikan mereka saling bertukar
pikiran dan juga membela keyakinannya masing-masing.
Melalui ayahnya, Asghar Ali Engineer mempelajari ilmu-ilmu keislaman
seperti teologi, tafsir, hadis dan fiqh. Bahkan ia juga pernah menempuh
pendidikan formal dari tingkat dasar dan lanjutan pada sekolah yang
berbeda-beda, seperti Hoshangabad, Wardha, Dewas dan Indore. Adapun pendidikan
tingginya dimulai pada tahun 1956. Enam tahun kemudian, yaitu tahun 1962, ia
berhasil menyelesaikannya dan akhirnya memperoleh gelar Doktor dalam bidang
teknik sipil dari Vikram University, Ujjain (India).[1]
Di samping itu, Asghar Ali Engineer juga menguasai berbagai bahasa, seperti
Inggris, Arab, Urdu, Persia, Gujarat, Hindi dan Marathi. Dengan menguasai
berbagai bahasa tersebut Asghar Ali Engineer mempelajari dan menekuni
masalah-masalah agama. Ia mempelajari fiqh perbandingan yang meliputi empat
mazhab sunni dan juga mazhab Syi’ah Isma’iliyah. Engineer adalah seorang feminis
yang sangat gigih membela hak-hak wanita dalam Islam, Dia mempelajari berbagai mazhab hukum serta berusaha mengambil putusan yang
paling baik tentang wanita dari mazhab-mazhab tersebut dengan jalan talfiq.
Bahkan dengan serius ia membaca tentang rasionalisme, baik yang berbahasa Urdu,
Arab ataupun Inggris. Asghar Ali Engineer juga membaca tulisan-tulisan Niyaz Fatehpuri (seorang penulis berbahasa Urdu yang terkenal dan pengkritik ortodoksi), Bertrand Russel (seorang
filosof rasional asal Inggris), dan juga karya monumental Karl Marx, Das
Capital.
Di samping sebagai pemikir, Asghar Ali Engineer juga adalah seorang aktifis
sekaligus seorang Da‘i yang memimpin sekte Syi‘ah Isma‘iliyah, Daudi Bohras
yang berpusat di Bombay India. Untuk diakui sebagai Da‘i tidaklah mudah. Ia
harus memenuhi 94 kualifikasi yang secara ringkasnya dibagi dalam empat
kelompok. Pertama, kualifikasi-kualifikasi pendidikan. Kedua,
kualifikasi-kualifikasi administratif. Ketiga, kualifikasi-kualifikasi moral.
Keempat, kualifikasi-kualifikasi keluarga dan kepribadian.[2]
Bahkan yang lebih menarik lagi, di antara kualifikasi tersebut, seorang Da‘i
harus tampil sebagai pembela umat yang tertindas dan berjuang melawan
kezaliman. Baginya, harus ada keseimbangan antara refleksi dan aksi.
Dengan memahami posisi Asghar Ali Engineer di atas, maka tidaklah
mengherankan mangapa ia sangat vokal sekali dalam memperjuangkan dan
menyuarakan pembebasan. Suatu tema yang menjadi ruh pada setiap karyanya,
seperti hak asasi manusia, hak-hak wanita, pembelaan rakyat tertindas,
perdamaian etnis, agama, dan lain-lainnya. Itulah sebabnya, ia banyak terlibat
bahkan memimpin organisasi yang memberikan banyak perhatian kepada upaya
advokasi sosial. Meskipun harus bertentangan dengan generasi tua yang cenderung
bersikap konservatif, dan pro status qou. Hal ini terjadi ketika sekte Daudi
Bohra dipimpin oleh Sayyidina Muhammad Burhanuddin yang dikenal sebagai Da‘i
mutlak (absolute preacher).[3]
Selain menjadi aktifis, Asghar Ali Engineer juga mendirikan sebuah institut pada tahun
1980 yang terutama sekali memfokuskan pada dua bidang, yaitu : (1), kerukunan
antar umat agama, (2), studi-studi wanita dari persfektif Islam. Karena
kegigihan dan kesungguhan usahanya tersebut, Asghar Ali Engineer di anugerahi
gelar kehormatan D. Lit. (Doctor of Literature) oleh Universitas Calcuta
pada tahun 1993 atas jasa dan publikasinya di Communal Harmony and
Interreligious Understanding yaitu di bidang kerukunan dan pemahaman antar
agama. Bahkan, Asghar Ali Engineer juga memperoleh National Communal Harmony
Award atas kerja kerasnya di Communal Harmony oleh National
Foundation for Communal Harmony, pada tahun 1997 berkat perhatian yang
besar dan partisipasinya dalam upaya pemecahan konflik yang diakibatkan oleh
adanya pluralisme agama dan kelompok yang berbeda di India dalam mewujudkan
kehidupan yang harmonis dan berbagai penghargaanlainnya seperti Hakim Khan Sur
Award oleh Maharana Mewar Foundation, Udaipur, Rajasthan.
Adapun jabatan yang pernah ia pegang adalah Wakil Presiden pada People’s
Union for Civil Liberties, Pemimpin Rikas Adhyayan Kendra (Centre for
Development Studies), Pimpinan EKTA (Committee for Communal Harmonyi),
Ketua Pendiri pada Centre for Study of Society and Secularism, Mantan
Dewan Eksekutif Universitas Jawaharlal Nehru, Delhi, Sekretaris Umum pada Board
of Dawoodi Bohra Community dan Convenor Asian Muslims’ Action Network
(AMAN). Di samping aktif dalam organisasi, Asghar juga aktif dalam akademik
pendidikan. Ia pernah memberikan kuliah di universitas diberbagai negara
seperti, Amerika, Kanada, Inggris, Swiss, Thailand, Malaysia, Indonesia, Sri
Langka, Pakistan, Yaman, Mesir, Hongkong dan lain-lainnya.[4]
Sebagai seorang pemikir-reformis,
lebih-lebih kapasitasnya sebagai Directur of Islamic Studies di Bombay,
dan mantan anggota Dewan Eksekutif Universitas Jawaharlal Nehru, di India,
Asghar sangat rajin dalam menuangkan ide-ide pemikirannya di berbagai forum
ilmiah baik dalam seminar, perkuliahan, lokakarya, maupun simposium di berbagai
negara. Bahkan dalam mensosialisasikan pemikirannya, Asghar Ali Engineer aktif
menulis maupun sebagai penyunting di berbagai penerbitan. Sehingga tidak lebih
dari 38 buku yang telah ia terbitkan.
II.
Akar Pemikiran
Asghar mengakui bahwa pemikirannya banyak dipengaruhi oleh para pemikir
ini. Sedangkan untuk tafsir al-Qur’an, dia membaca karya tokoh-tokoh Islam
seperti Sir Sayyid Ahmad Khan (meninggal 1898) dan Maulana Abu al-Kalam azad (meninggal 1958). Engineer juga telah membaca hampir semua karya besar
tentang Dakwah Fatimi yang ditulis oleh, antara lain, Sayedna Hatim, Sayedna
Qadi Nu‘man, Sayedna Muayyad Sirazi, Sayedna Haminuddin Kirmani, Sayedna Hatim
ar-Razi dan Sayedna Ja’far Mansur al-Yaman. Tak ketinggalan juga, Rasa’il
Ikhwanus Safa, sebuah sintesis antara akal dan wahyu, turut serta membentuk
wacana intelektual Asghar.[5]
Dalam
bukunya Islam dan teologi pembebasan, engineer secara khusus membahas maulana
abu al-kalam azad dalam sebuah bab berjudul kreativitas teologis maulana azad.
Dalam bab ini engineer mengulas pemikiran tokoh yang dikaguminya ini dengan
memaparkan sedikit penjelasan maulana azad dalam tafsir karangannya, Tarjuman
al-Qur’an. Terdapat banyak pemikiran teologis maulana azad yang pada akahirnya
mempengaruhi pemikiran engineer, salah satu contoh adalah konsep pluralitas
dalam agama atau teologi. Menurutnya teologi harus dikaitkan dengan kondisi dan
kebutuhan manusia yang senantiasa berubah. Allah memiliki sifat rububiyat “rahmatan
lil alamiin” yang memiliki dan memelihara seluruh alam, termasuk yang bernyawa
dan yang tidak serta semuanya. Konsep ini bukan hanya menekankan kesatuan
seluruh ummat manusia, namun juga kesatuan seluruh alam semesta. Jika setiap partikel di semesta ini ditujukan
untuk memberi respon terhadap perubahan, mengapa teologi tidak?[6]
Menanggapi
pemikiran ini, selanjutnya engineer banyak melakukan rekonstruksi teologis baik
melalui tulisan-tulisan maupun tindakan gerakan dalam komunitas. Karena baginya
tidak ada teolog yang tidak terlibat aktif dalam sebuah gerakan, sebagaimana
yang dilakukan maulana azad.
III.
Metodologi
Memahami Al-Qur’an
Dalam usaha memahami berbagai aspek pernyataan al-qur’an, ada hal paling
fundamental yang dipegang teguh oleh Engineer, yaitu kepercayaan bahwa tak ada
penafsiran yang tunggal, meskipun mungkin ada yang signifikan. Pemikiran ini merupakan respon terhadap berbagai pandangan yang
menyatakan keberatan dan mis-interpretasi terhadap al-qur’an. Kitab suci umat
islam ini banyak digunakan oleh para musuh islam untuk menyerang agama ini.
stereotip bahwa islam adalah agama kekerasan yang memerintahkan umatnya
membunuh non-islam dalam sebuah konsep bernama jihad, awalnya juga bermula dari
penafsiran yang terlalu kaku dan ekstrim. Al-qur’an seolah jadi legitimasi
bahwa umat islam fanatic dan telah menumpahkan banyak darah di bumi ini.
Tidak ada penafsiran al-qur’an yang
secara literal sama. Setiap orang memahami teks al-qur’an sesuai dengan
kedudukan politik, social dan ekonominya masing-masing. Sangat sulit untuk
mengetahui apa yang sebenarnya dimaksud oleh Tuhan. Setiap orang berusaha untuk memahami maksud
Tuhan sesuai dengan kedudukannya. Oleh karena itu, ulama-ulama klasik setelah
mengutarakan pendapatnya dalam tafsirnya selalu mengatakan “wallhu a’lam
bisshowab”, hanya Allah yang mengetahui kebenarannya.[7]
Di samping itu, Seorang penafsir
bisa saja mempunyai sebuah pemahaman prespektif teologi, sosiologi ataupun melihatnya dari prespektif keilmuan
lain. Setiap orang akan mempunyai kontribusi yang dibuatnya dari prespektif
dirinya sendiri. Mengenai hal ini, penting untuk dicatat bahwa al-qur’an
menggunakan kata-kata yang mengandung berbagai makna, bahkan berbagai symbol
bahasa. Dan symbol atau kata-kata itu tidak hanya bisa dilihat dari berbagai
prespektif saja,namun juga ada kata dan symbol yang berkembang maknanya sesuai
dengan berkembangnya waktu dan pengalaman-pengalaman yang baru.[8]
AL –Qur’an hadir sebagai petunjuk
bagi seluruh alam. Oleh karenanya, kita harus percaya bahwa ia abadi dan selalu
relevan bagi masa lalu dan masa mendatang. Setiap generasi berhak menafsiri
al-qur’an dengan cara mereka sendiri sesuai dengan pengalaman dan problematika
yang mereka hadapi. Permasalahan pada jaman dahulu dan sekarang tentu berbeda,
dengan demikian untuk mendapatkan petunjuk dan inspirasi dari al-qur’an, mereka
harus menafsiri dengan prespektif mereka sendiri.
Menafsirkan al-qur’an bagi asghar
ali engineer, tidak boleh dilepaskan dari kesadaran bahwa ayat-ayat al-qur’an
dikategorikan dalam beberapa bahasan :
1. Ayat yang menyinggung
masalah ibadah, yang di dalamnya termasuk sholat, puasa, haji, zakat, dan
praktek-praktek serupa lainnya yang menyinggung masalah ini. Ayat-ayat ini
dapat dipahami dengan cahaya hadist sahih. Nabi Muhammad saw sendiri
menjelaskan bagaimana cara shalat, haji, dan hal-hal yang berkaitan dengan
puasa. Tidak ada reinterpretasi dan rethinking dalam memahami ayat-ayat yang
berkaitan dengan masalah ini. Ibadah harus dipahami sesuai apa yang dijelaskan
Nabi. Ini adalah konsep ibadah dan ritual yang mempunyai keunikan tersendiri di
antara agama-agama lainnya. Setiap agama mengembangkan system spiritual dan
shalat, pemujaan,meditasi, dan lainnya. Memikirkan kembali isu-isu ini sama
halnya dengan merusak keunikan dan memporak-porandakan estetika spiritual.
Pemahaman ayat-ayat ibadah tidak perlu diubah. Tetapi perbedaan-perbedaan dalam
masalah ini tentu akan tetap terjadi.
2. Ayat-ayat yang
menyinggung masalah mu’amalat yang di dalamnya termasuk perkawinan, perceraian,
waris, transaksi bisnis, kontrak, property, agrikultur dan lain-lain. Dalam
memahami ayat-ayat ini diperlukan adanya pemikiran ulang atau rethinking. Kaum
modernis berpendapat bahwa rethinking dalam memahami ayat mu’amalat sangat
diperlukan karena timbulnya berbagai permasalahan dan tantangan.
Dalam hal
ini, Asghar mengambil contoh ayat poligami. Menurutnya, konsep yang
memperbolehkan menikah dengan empat orang perempuan ini diilhami oleh pemahaman
yang berasal dari semangat abad pertengahan yang berlaku pada orang arab waktu
itu. Hal lain yang juga perlu dipikirkan ulang adalah masalah perceraian.
Beberapa hadist yang bertentangan dengan spirit ayat-ayat al-qur’an yang
berkaiatan dengan masalah perceraian telah digunakan untuk menginterpretasikan
ayat-ayat tersebut. Merespon hal-hal seperti ini, kita perlu untuk
mengembalikan semangat al-qur’an dalam menafsirkan atau mempergunakan ayat-ayat
ini.
3. Kategori ayat yang
berkaitan dengan keyakinan metafisik, seperti keesaan tuhan, hari akhir, surge,
neraka, malaikat dan seterusnya. Ini yang kita sebut dengan aqidah. Ayat- ayat
ini merupakan bagian yang tidak bias menerima perubahan apapun dan termasuk
ajaran yang fundamental dalam islam. Kepercayaan terhadap ayat-ayat di atas
juga merupakan bagian dari keunikan islam dan yang menjadi pembeda antara islam
dengan agama lainnya.
4. Kategori ayat-ayat
yang menyinggung mengenai tuntunan umum dan penyebaran apa yang dianggap
baik(dalam istilah al-qur’an disebut sebagai ma’ruf) dan apa yang dianggap
buruk(munkar) sebagai aturan yang butuh untuk diganti. Tentu saja pemahaman
tentang baik dan buruk itu bisa jadi
berbeda dari waktu ke waktu dan dari suatu tempat ke tempat lainnya.
Perbedaan tentang hal ini pada akhirnya akan menimbulkan perbedaan opini, maka
dari itu digunakan semacam pendekatan universal untuk menentukan kebaikan dan
keburukan, yakni hal-hal yang mengenalkan betapa indahnya ciptaan tuhan bisa
dianggap sebagai kebaikan universal sedangkan yang menegasikan hal tersebut dianggap sebagi kejahatan
universal.
5. Ayat-ayat yang
menyinggung mengenai nilai, seperti keadilan, persamaan, pedoman, penciptaaan
keadilan social, dan lain sebagainya yang secara fitrah merupakan hal yang
abadi. Tidak ada pertanyaan maupun rethinking dalam hal ini. Para teolog dan yuris
islam sepakat bahwa nilai-nilai ini diformulasikan dalam seluruh formulasi
teologis dan hokum islam.
Dalam memahami ayat-ayat yang
berkaitan dengan keadilan atau nilai-nilai yang serupa dengannya, Engineer
memandang bahwa mufassir harus memperhatikan semangat yang ada pada waktu itu. Hal
ini disebutnya sebagai elemen dinamis, sebuah elemen metodologi yang sangat penting untuk memahami ayat-ayat
al-qur’an. Pendekatan serupa juga menjadi syarat dalam memahami hadist. Bahkan
hadist yang paling autentik pun tidak akan membatasi kita dalam menggali
potensi makna baru dari ayat-ayat particular dalam al-qur’an. Nabi Saw dalam
merespon sebuah kasus tertentu, masih memperhatikan konteks social masyarakat
pada masanya, akan tetapi beliau tidak serta merta melarang apa yang tidak
sesuai dengan prinsip-prinsip islam.misalnya dalam menafsirkan ayat tentang
perbudakan.
Dalam pandangan engineer, meskipun
nabi secara pribadi mencontohkan emansipasi perbudakan, namun beliau tidak
begitu saja menghapuskan perbudakan. Mungkin, agama islam lah yang pertama kali
mengajarkan persamaan bagi seluruh manusia melalui pernyataan al-qur’an bahwa seluruh anak adam dihormati,
sebelum struktur perbudakan mengakar pada struktur sosial pada waktu dimana
institusi tersebut tidak bisa dihapuskan secara total, namun demikian bukan
berarti perbudakan diabadikan dengan menunjuk ayat-ayat al-qur’an dan hadist.
Merespon hal ini, selanjutnya
engineer berpendapat bahwa ada elemen lain yang penting dalam memahami
al-qur’an yakni dengan meletakkan ayat-ayat normative di atas ayat-ayat
kontekstual. Ini dikarenakan-menurut Engineer- ayat-ayat normative aplikasinya
lebih bersifat abadi dan fundamental
daripada ayat-ayat kontekstual. Konsekuensi dari normativitas yang ada
dalam ayat-ayat al-qur’an ini adalah validitasnya yang transenden. Namun
begitu, teologi al-qur’an tidaklah dogmatis atau mengabaikan realitas empiris
yang cenderung dinamis. Engineer juga mengingatkan bahwa seseorang harus
berhati-hati dalam menyortir yang kontekstual dari yang normative, baik yang
ada dalam al-qur’an maupun hadist. [9]
Engineer juga mengkritik konsep
pembagian ayat ke dalam Muhkamat dan Mutasyabihat sebagaimana yang dilakukan
para mufassir klasik. Berdasarkah hadist yang shahih, mufassir klasik membagi
ayat-ayat alqur’an ke dalam dua bagian 1) Muhkamat 2)Mutasyabihat. Ayat-ayat
muhkamat adalah yang makna dan maksudnya tidak lagi menimbulkan
perdebatan. Sedangkan ayat-ayat mutasyabihat maknanya menimbulkan
perdebatan dan oleh karenanya juga menimbulkan berbagai penafsiran yang berbeda.
Akan tetapi pembagian ayat-ayat ini-meskipun dalam batas-batas tertentu
benar-belumlah cukup. Maka masih perlu dirincikan menjadi sub-sub kategori.
Misalnya ketika menafsirkan surat an-nisa’ ayat 34 :
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ
بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ
أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ
اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي
الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ
سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا (34)
Penafsiran
terhadap ayat ini menimbulkan kontroversi mengenai kedudukan seorang wanita.
Ulama-ulama ortodoks selalu mengutipnya untuk membuktikan superioritas
laki-laki atas wanita. Dan lantas menerjemahkan kata-kata pokok dalam ayat
tersebut dengan sangat berbeda. Maulana Fateh al-Jalandhari menerjemahkan kata
qawwam dengan kata yang bermakna ‘kuat dan penguasa’ (musallat dan hakim)
qanitat, patuh kepada laki-laki, nusyuz, ‘tidak patuh dan perlakuan yang salah’
dan kata wadlribuhunna ‘memukul mereka’. Jika kata kunci ini benar-benar
dipahami, keseluruhan makna ayat ini akan berubah danpada umumnya menjadikan
wanita sepenuhnya berada dibawah derajat laki-laki. Akan tetapi Muhammad asad
menerjemahkan makna qawwam dengan tanggung jawab sepenuhnya(taking full care)
bukan menguasainya(rulling over) mengutip dari bukunya Lane, Lisan al-arab. Lalu lafadz qanitat yang diterjemahkan
al-jalandri dengan ‘patuh kepada laki-laki’ ditolak oleh ahmed ali.menurutnya
qanitat dalam bahasa rab hanya berarti ‘tunduk kepada tuhan’ .
perbedaan-perbedaan ini tentu menimbulkan sebuah pandangan yang sangat bertolak
belakang mengenai kedudukan wanita. Ayat tersebut termasuk ayat muhkamat, namun
sebagaimana kita tahu ayat tersebut ditafsirkan secara berlainan oleh orang
yang berbeda.
Tidak ada
seorang ahli dari zaman klasik maupun modern yang mengelompokkan ayat-ayat
secara lengkap dan komperhensif. Ayat-ayat tentang berbagai ayat masalah social
dan personal pada umumnya dimasukkan dalam ayat-ayat muhkamat karena
menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda. Perbedaan ini tidak hanya terjadi
pada penafsiran klasik, bahkan terjadi pada sahabat-sahabat dekat nabi.
Ayat-ayat al-qur’an tidak ditafsirkan secara seragam oleh para sahabat nabi.
Ibnu mas’ud, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin umar, dan lainnya, berbeda dalam
memahami banyak ayat al-qur’an. Pada akhirnya yang menentukan adalah kedudukan
subyektifnya(secara social, politik dan ekonomi). [10]
PENUTUP
Semangat engineer dalam
mengembangkan metodologi penafsiran al-qur’an diilhami oleh kepercayaannya
bahwa islam lebih dari sekedar perangkat kepercayaan atau ritual. Islam
menyatakan revolusi sosial, mencipta manusia yang berperadaban berdasarkan pada
asas persamaan, keadilan dan martabat manusia. Al-qur’an sebagai pegangan hidup
agama islam sudah pasti menyuarakan ide-ide keadilan dan persamaan. Penafsiran
terhadapnya juga harus lebih ramah terhadap realita social. Engineer kemudian
menyuarakan untuk kermbali kepada normatifitas ayat.
Menurutnya, Sebuah ayat memiliki
nilai normative yang harus didahulukan dan diperhatikan dalam penafsiran. Ini
dikarenakan-menurut Engineer- ayat-ayat normative aplikasinya lebih bersifat
abadi dan fundamental daripada ayat-ayat
kontekstual. Konsekuensi dari normativitas yang ada dalam ayat-ayat al-qur’an
ini adalah validitasnya yang transenden. Namun begitu, teologi al-qur’an
tidaklah dogmatis atau mengabaikan realitas empiris yang cenderung dinamis.
Engineer juga mengingatkan bahwa seseorang harus berhati-hati dalam menyortir
yang kontekstual dari yang normative, baik yang ada dalam al-qur’an maupun
hadist.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Asghar Ali Engineer, Islam dan Pembebasan, alih
bahasa Hairus Salim dan Imam Baehaqy, Cet. I (Yogyakarta: Lkis, 1993)
Ø M. Agus Nuryatno, Islam, Teologi Pembebasan dan
Kesetaraan Gender, Cet.I (Yogyakarta: UII Press, 2001)
Ø Asghar ali Engineer,. Pembebasan perempuan. Yogyakarta:
Lkis, 2003
Ø Asghar Ali Engineer.
“Islam dan Teologi Pembebasan” Cet.
IV (Yogyakarta: Lkis, 2006)
Ø Asghar Ali Engineer. Islam Masa Kini. Cet. I (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004)
[1]
Asghar ali engineer, Islam
Masa kini. Hal. vi
[2]
Djohan Effendi, “Memikirkan Kembali Asumsi Pemikiran Kita”, dalam
kata pengatar bukunya Asghar Ali Engineer, Islam dan Pembebasan, alih
bahasa Hairus Salim dan Imam Baehaqy, Cet. I (Yogyakarta: Lkis, 1993), h. Vii.
[3]
M. Agus Nuryatno, Islam, Teologi Pembebasan dan Kesetaraan Gender,
Cet.I (Yogyakarta: UII Press, 2001), h. 8
[4]
Adapun mengenai biodata aktifitas organisasi dan kegiatan akademik
pendidikan Asghar Ali
Engineer
secara lengkap dapat ditemukan dalam halaman akhir dari buku “Hak-hak
Perempuan dalam Islam” yang dimuat oleh editor LSPPA.
[6]
. islam dan teologi pembebasan hal 194-195
[7]
. Ali Engineer, Asghar. “Islam dan Teologi Pembebasan” Cet. IV (Yogyakarta: Lkis, 2006) hal. 177
[9]
. Engineer, Asghar ali. Pembebasan perempuan. Yogyakarta: Lkis, 2003.
Hal 42-43
[10]
. Islam dan teologi pembebasan hal 174-178
Tidak ada komentar:
Posting Komentar