Jumat, 12 April 2013

Metodologi Tafsir Al-Qur’an menurut Asghar Ali Engineer







I.                   BIOGRAFI
            Asghar ali engineer lahir pada tanggal 10 Maret 1939 dalam sebuah keluarga priyayi ortodoks di Bohra. Bohra merupakan daerah yang masyarakat muslimnya menganut aliran syi’ah ismailiyah. Ayahnya bernama Sheikh Qurban Husain, dan ibunya bernama Maryam. Meskipun ia seorang penganut syi’ah ismailiyah yang fanatik tapi berpikiran terbuka dan menunjukkan perhatian besar ketika orang-orang yang berbeda keyakinan mengajaknya berdialog. Sejak kecil, Asghar telah terbiasa menyaksikan ayahnya berdialog dengan para pemuka agama lain, menyaksikan mereka saling bertukar pikiran dan juga membela keyakinannya masing-masing.
Melalui ayahnya, Asghar Ali Engineer mempelajari ilmu-ilmu keislaman seperti teologi, tafsir, hadis dan fiqh. Bahkan ia juga pernah menempuh pendidikan formal dari tingkat dasar dan lanjutan pada sekolah yang berbeda-beda, seperti Hoshangabad, Wardha, Dewas dan Indore. Adapun pendidikan tingginya dimulai pada tahun 1956. Enam tahun kemudian, yaitu tahun 1962, ia berhasil menyelesaikannya dan akhirnya memperoleh gelar Doktor dalam bidang teknik sipil dari Vikram University, Ujjain (India).[1]
Di samping itu, Asghar Ali Engineer juga menguasai berbagai bahasa, seperti Inggris, Arab, Urdu, Persia, Gujarat, Hindi dan Marathi. Dengan menguasai berbagai bahasa tersebut Asghar Ali Engineer mempelajari dan menekuni masalah-masalah agama. Ia mempelajari fiqh perbandingan yang meliputi empat mazhab sunni dan juga mazhab Syi’ah Isma’iliyah. Engineer adalah seorang feminis yang sangat gigih membela hak-hak wanita dalam Islam, Dia mempelajari berbagai mazhab hukum serta berusaha mengambil putusan yang paling baik tentang wanita dari mazhab-mazhab tersebut dengan jalan talfiq. Bahkan dengan serius ia membaca tentang rasionalisme, baik yang berbahasa Urdu, Arab ataupun Inggris. Asghar Ali Engineer juga membaca tulisan-tulisan Niyaz Fatehpuri (seorang penulis berbahasa Urdu yang terkenal dan pengkritik ortodoksi), Bertrand Russel (seorang filosof rasional asal Inggris), dan juga karya monumental Karl Marx, Das Capital.
Di samping sebagai pemikir, Asghar Ali Engineer juga adalah seorang aktifis sekaligus seorang Da‘i yang memimpin sekte Syi‘ah Isma‘iliyah, Daudi Bohras yang berpusat di Bombay India. Untuk diakui sebagai Da‘i tidaklah mudah. Ia harus memenuhi 94 kualifikasi yang secara ringkasnya dibagi dalam empat kelompok. Pertama, kualifikasi-kualifikasi pendidikan. Kedua, kualifikasi-kualifikasi administratif. Ketiga, kualifikasi-kualifikasi moral. Keempat, kualifikasi-kualifikasi keluarga dan kepribadian.[2] Bahkan yang lebih menarik lagi, di antara kualifikasi tersebut, seorang Da‘i harus tampil sebagai pembela umat yang tertindas dan berjuang melawan kezaliman. Baginya, harus ada keseimbangan antara refleksi dan aksi.
Dengan memahami posisi Asghar Ali Engineer di atas, maka tidaklah mengherankan mangapa ia sangat vokal sekali dalam memperjuangkan dan menyuarakan pembebasan. Suatu tema yang menjadi ruh pada setiap karyanya, seperti hak asasi manusia, hak-hak wanita, pembelaan rakyat tertindas, perdamaian etnis, agama, dan lain-lainnya. Itulah sebabnya, ia banyak terlibat bahkan memimpin organisasi yang memberikan banyak perhatian kepada upaya advokasi sosial. Meskipun harus bertentangan dengan generasi tua yang cenderung bersikap konservatif, dan pro status qou. Hal ini terjadi ketika sekte Daudi Bohra dipimpin oleh Sayyidina Muhammad Burhanuddin yang dikenal sebagai Da‘i mutlak (absolute preacher).[3]
Selain menjadi aktifis, Asghar Ali Engineer juga mendirikan sebuah institut pada tahun 1980 yang terutama sekali memfokuskan pada dua bidang, yaitu : (1), kerukunan antar umat agama, (2), studi-studi wanita dari persfektif Islam. Karena kegigihan dan kesungguhan usahanya tersebut, Asghar Ali Engineer di anugerahi gelar kehormatan D. Lit. (Doctor of Literature) oleh Universitas Calcuta pada tahun 1993 atas jasa dan publikasinya di Communal Harmony and Interreligious Understanding yaitu di bidang kerukunan dan pemahaman antar agama. Bahkan, Asghar Ali Engineer juga memperoleh National Communal Harmony Award atas kerja kerasnya di Communal Harmony oleh National Foundation for Communal Harmony, pada tahun 1997 berkat perhatian yang besar dan partisipasinya dalam upaya pemecahan konflik yang diakibatkan oleh adanya pluralisme agama dan kelompok yang berbeda di India dalam mewujudkan kehidupan yang harmonis dan berbagai penghargaanlainnya seperti Hakim Khan Sur Award oleh Maharana Mewar Foundation, Udaipur, Rajasthan.
Adapun jabatan yang pernah ia pegang adalah Wakil Presiden pada People’s Union for Civil Liberties, Pemimpin Rikas Adhyayan Kendra (Centre for Development Studies), Pimpinan EKTA (Committee for Communal Harmonyi), Ketua Pendiri pada Centre for Study of Society and Secularism, Mantan Dewan Eksekutif Universitas Jawaharlal Nehru, Delhi, Sekretaris Umum pada Board of Dawoodi Bohra Community dan Convenor Asian Muslims’ Action Network (AMAN). Di samping aktif dalam organisasi, Asghar juga aktif dalam akademik pendidikan. Ia pernah memberikan kuliah di universitas diberbagai negara seperti, Amerika, Kanada, Inggris, Swiss, Thailand, Malaysia, Indonesia, Sri Langka, Pakistan, Yaman, Mesir, Hongkong dan lain-lainnya.[4]
 Sebagai seorang pemikir-reformis, lebih-lebih kapasitasnya sebagai Directur of Islamic Studies di Bombay, dan mantan anggota Dewan Eksekutif Universitas Jawaharlal Nehru, di India, Asghar sangat rajin dalam menuangkan ide-ide pemikirannya di berbagai forum ilmiah baik dalam seminar, perkuliahan, lokakarya, maupun simposium di berbagai negara. Bahkan dalam mensosialisasikan pemikirannya, Asghar Ali Engineer aktif menulis maupun sebagai penyunting di berbagai penerbitan. Sehingga tidak lebih dari 38 buku yang telah ia terbitkan.

II.               Akar Pemikiran

                  Asghar mengakui bahwa pemikirannya banyak dipengaruhi oleh para pemikir ini. Sedangkan untuk tafsir al-Qur’an, dia membaca karya tokoh-tokoh Islam seperti Sir Sayyid Ahmad Khan (meninggal 1898) dan Maulana Abu al-Kalam azad (meninggal 1958). Engineer juga telah membaca hampir semua karya besar tentang Dakwah Fatimi yang ditulis oleh, antara lain, Sayedna Hatim, Sayedna Qadi Nu‘man, Sayedna Muayyad Sirazi, Sayedna Haminuddin Kirmani, Sayedna Hatim ar-Razi dan Sayedna Ja’far Mansur al-Yaman. Tak ketinggalan juga, Rasa’il Ikhwanus Safa, sebuah sintesis antara akal dan wahyu, turut serta membentuk wacana intelektual Asghar.[5]
                  Dalam bukunya Islam dan teologi pembebasan, engineer secara khusus membahas maulana abu al-kalam azad dalam sebuah bab berjudul kreativitas teologis maulana azad. Dalam bab ini engineer mengulas pemikiran tokoh yang dikaguminya ini dengan memaparkan sedikit penjelasan maulana azad dalam tafsir karangannya, Tarjuman al-Qur’an. Terdapat banyak pemikiran teologis maulana azad yang pada akahirnya mempengaruhi pemikiran engineer, salah satu contoh adalah konsep pluralitas dalam agama atau teologi. Menurutnya teologi harus dikaitkan dengan kondisi dan kebutuhan manusia yang senantiasa berubah. Allah memiliki sifat rububiyat “rahmatan lil alamiin” yang memiliki dan memelihara seluruh alam, termasuk yang bernyawa dan yang tidak serta semuanya. Konsep ini bukan hanya menekankan kesatuan seluruh ummat manusia, namun juga kesatuan seluruh alam semesta.  Jika setiap partikel di semesta ini ditujukan untuk memberi respon terhadap perubahan, mengapa teologi tidak?[6]

                        Menanggapi pemikiran ini, selanjutnya engineer banyak melakukan rekonstruksi teologis baik melalui tulisan-tulisan maupun tindakan gerakan dalam komunitas. Karena baginya tidak ada teolog yang tidak terlibat aktif dalam sebuah gerakan, sebagaimana yang dilakukan maulana azad.

III.             Metodologi Memahami Al-Qur’an
               Dalam usaha memahami berbagai aspek pernyataan al-qur’an, ada hal paling fundamental yang dipegang teguh oleh Engineer, yaitu kepercayaan bahwa tak ada penafsiran yang tunggal, meskipun mungkin ada yang signifikan. Pemikiran ini merupakan respon terhadap berbagai pandangan yang menyatakan keberatan dan mis-interpretasi terhadap al-qur’an. Kitab suci umat islam ini banyak digunakan oleh para musuh islam untuk menyerang agama ini. stereotip bahwa islam adalah agama kekerasan yang memerintahkan umatnya membunuh non-islam dalam sebuah konsep bernama jihad, awalnya juga bermula dari penafsiran yang terlalu kaku dan ekstrim. Al-qur’an seolah jadi legitimasi bahwa umat islam fanatic dan telah menumpahkan banyak darah di bumi ini.
            Tidak ada penafsiran al-qur’an yang secara literal sama. Setiap orang memahami teks al-qur’an sesuai dengan kedudukan politik, social dan ekonominya masing-masing. Sangat sulit untuk mengetahui apa yang sebenarnya dimaksud oleh Tuhan.  Setiap orang berusaha untuk memahami maksud Tuhan sesuai dengan kedudukannya. Oleh karena itu, ulama-ulama klasik setelah mengutarakan pendapatnya dalam tafsirnya selalu mengatakan “wallhu a’lam bisshowab”, hanya Allah yang mengetahui kebenarannya.[7]
            Di samping itu, Seorang penafsir bisa saja mempunyai sebuah pemahaman prespektif teologi, sosiologi  ataupun melihatnya dari prespektif keilmuan lain. Setiap orang akan mempunyai kontribusi yang dibuatnya dari prespektif dirinya sendiri. Mengenai hal ini, penting untuk dicatat bahwa al-qur’an menggunakan kata-kata yang mengandung berbagai makna, bahkan berbagai symbol bahasa. Dan symbol atau kata-kata itu tidak hanya bisa dilihat dari berbagai prespektif saja,namun juga ada kata dan symbol yang berkembang maknanya sesuai dengan berkembangnya waktu dan pengalaman-pengalaman yang baru.[8]
            AL –Qur’an hadir sebagai petunjuk bagi seluruh alam. Oleh karenanya, kita harus percaya bahwa ia abadi dan selalu relevan bagi masa lalu dan masa mendatang. Setiap generasi berhak menafsiri al-qur’an dengan cara mereka sendiri sesuai dengan pengalaman dan problematika yang mereka hadapi. Permasalahan pada jaman dahulu dan sekarang tentu berbeda, dengan demikian untuk mendapatkan petunjuk dan inspirasi dari al-qur’an, mereka harus menafsiri dengan prespektif mereka sendiri.
            Menafsirkan al-qur’an bagi asghar ali engineer, tidak boleh dilepaskan dari kesadaran bahwa ayat-ayat al-qur’an dikategorikan dalam beberapa bahasan :
1.      Ayat yang menyinggung masalah ibadah, yang di dalamnya termasuk sholat, puasa, haji, zakat, dan praktek-praktek serupa lainnya yang menyinggung masalah ini. Ayat-ayat ini dapat dipahami dengan cahaya hadist sahih. Nabi Muhammad saw sendiri menjelaskan bagaimana cara shalat, haji, dan hal-hal yang berkaitan dengan puasa. Tidak ada reinterpretasi dan rethinking dalam memahami ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah ini. Ibadah harus dipahami sesuai apa yang dijelaskan Nabi. Ini adalah konsep ibadah dan ritual yang mempunyai keunikan tersendiri di antara agama-agama lainnya. Setiap agama mengembangkan system spiritual dan shalat, pemujaan,meditasi, dan lainnya. Memikirkan kembali isu-isu ini sama halnya dengan merusak keunikan dan memporak-porandakan estetika spiritual. Pemahaman ayat-ayat ibadah tidak perlu diubah. Tetapi perbedaan-perbedaan dalam masalah ini tentu akan tetap terjadi.
2.      Ayat-ayat yang menyinggung masalah mu’amalat yang di dalamnya termasuk perkawinan, perceraian, waris, transaksi bisnis, kontrak, property, agrikultur dan lain-lain. Dalam memahami ayat-ayat ini diperlukan adanya pemikiran ulang atau rethinking. Kaum modernis berpendapat bahwa rethinking dalam memahami ayat mu’amalat sangat diperlukan karena timbulnya berbagai permasalahan dan tantangan.
Dalam hal ini, Asghar mengambil contoh ayat poligami. Menurutnya, konsep yang memperbolehkan menikah dengan empat orang perempuan ini diilhami oleh pemahaman yang berasal dari semangat abad pertengahan yang berlaku pada orang arab waktu itu. Hal lain yang juga perlu dipikirkan ulang adalah masalah perceraian. Beberapa hadist yang bertentangan dengan spirit ayat-ayat al-qur’an yang berkaiatan dengan masalah perceraian telah digunakan untuk menginterpretasikan ayat-ayat tersebut. Merespon hal-hal seperti ini, kita perlu untuk mengembalikan semangat al-qur’an dalam menafsirkan atau mempergunakan ayat-ayat ini.

3.      Kategori ayat yang berkaitan dengan keyakinan metafisik, seperti keesaan tuhan, hari akhir, surge, neraka, malaikat dan seterusnya. Ini yang kita sebut dengan aqidah. Ayat- ayat ini merupakan bagian yang tidak bias menerima perubahan apapun dan termasuk ajaran yang fundamental dalam islam. Kepercayaan terhadap ayat-ayat di atas juga merupakan bagian dari keunikan islam dan yang menjadi pembeda antara islam dengan agama lainnya.
4.      Kategori ayat-ayat yang menyinggung mengenai tuntunan umum dan penyebaran apa yang dianggap baik(dalam istilah al-qur’an disebut sebagai ma’ruf) dan apa yang dianggap buruk(munkar) sebagai aturan yang butuh untuk diganti. Tentu saja pemahaman tentang baik dan buruk itu bisa jadi  berbeda dari waktu ke waktu dan dari suatu tempat ke tempat lainnya. Perbedaan tentang hal ini pada akhirnya akan menimbulkan perbedaan opini, maka dari itu digunakan semacam pendekatan universal untuk menentukan kebaikan dan keburukan, yakni hal-hal yang mengenalkan betapa indahnya ciptaan tuhan bisa dianggap sebagai kebaikan universal sedangkan yang menegasikan  hal tersebut dianggap sebagi kejahatan universal.
5.      Ayat-ayat yang menyinggung mengenai nilai, seperti keadilan, persamaan, pedoman, penciptaaan keadilan social, dan lain sebagainya yang secara fitrah merupakan hal yang abadi. Tidak ada pertanyaan maupun rethinking dalam hal ini. Para teolog dan yuris islam sepakat bahwa nilai-nilai ini diformulasikan dalam seluruh formulasi teologis dan hokum islam.

            Dalam memahami ayat-ayat yang berkaitan dengan keadilan atau nilai-nilai yang serupa dengannya, Engineer memandang bahwa mufassir harus memperhatikan semangat yang ada pada waktu itu. Hal ini disebutnya sebagai elemen dinamis, sebuah elemen metodologi  yang sangat penting untuk memahami ayat-ayat al-qur’an. Pendekatan serupa juga menjadi syarat dalam memahami hadist. Bahkan hadist yang paling autentik pun tidak akan membatasi kita dalam menggali potensi makna baru dari ayat-ayat particular dalam al-qur’an. Nabi Saw dalam merespon sebuah kasus tertentu, masih memperhatikan konteks social masyarakat pada masanya, akan tetapi beliau tidak serta merta melarang apa yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip islam.misalnya dalam menafsirkan ayat tentang perbudakan.

            Dalam pandangan engineer, meskipun nabi secara pribadi mencontohkan emansipasi perbudakan, namun beliau tidak begitu saja menghapuskan perbudakan. Mungkin, agama islam lah yang pertama kali mengajarkan persamaan bagi seluruh manusia melalui pernyataan  al-qur’an bahwa seluruh anak adam dihormati, sebelum struktur perbudakan mengakar pada struktur sosial pada waktu dimana institusi tersebut tidak bisa dihapuskan secara total, namun demikian bukan berarti perbudakan diabadikan dengan menunjuk ayat-ayat al-qur’an dan hadist.

            Merespon hal ini, selanjutnya engineer berpendapat bahwa ada elemen lain yang penting dalam memahami al-qur’an yakni dengan meletakkan ayat-ayat normative di atas ayat-ayat kontekstual. Ini dikarenakan-menurut Engineer- ayat-ayat normative aplikasinya lebih bersifat abadi dan fundamental  daripada ayat-ayat kontekstual. Konsekuensi dari normativitas yang ada dalam ayat-ayat al-qur’an ini adalah validitasnya yang transenden. Namun begitu, teologi al-qur’an tidaklah dogmatis atau mengabaikan realitas empiris yang cenderung dinamis. Engineer juga mengingatkan bahwa seseorang harus berhati-hati dalam menyortir yang kontekstual dari yang normative, baik yang ada dalam al-qur’an maupun hadist. [9]

            Engineer juga mengkritik konsep pembagian ayat ke dalam Muhkamat dan Mutasyabihat sebagaimana yang dilakukan para mufassir klasik. Berdasarkah hadist yang shahih, mufassir klasik membagi ayat-ayat alqur’an ke dalam dua bagian 1) Muhkamat 2)Mutasyabihat. Ayat-ayat muhkamat adalah yang makna dan maksudnya tidak lagi menimbulkan perdebatan. Sedangkan ayat-ayat mutasyabihat maknanya menimbulkan perdebatan dan oleh karenanya juga menimbulkan berbagai penafsiran yang berbeda. Akan tetapi pembagian ayat-ayat ini-meskipun dalam batas-batas tertentu benar-belumlah cukup. Maka masih perlu dirincikan menjadi sub-sub kategori.
           Misalnya ketika menafsirkan surat an-nisa’ ayat 34 :
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا (34)
Penafsiran terhadap ayat ini menimbulkan kontroversi mengenai kedudukan seorang wanita. Ulama-ulama ortodoks selalu mengutipnya untuk membuktikan superioritas laki-laki atas wanita. Dan lantas menerjemahkan kata-kata pokok dalam ayat tersebut dengan sangat berbeda. Maulana Fateh al-Jalandhari menerjemahkan kata qawwam dengan kata yang bermakna ‘kuat dan penguasa’ (musallat dan hakim) qanitat, patuh kepada laki-laki, nusyuz, ‘tidak patuh dan perlakuan yang salah’ dan kata wadlribuhunna ‘memukul mereka’. Jika kata kunci ini benar-benar dipahami, keseluruhan makna ayat ini akan berubah danpada umumnya menjadikan wanita sepenuhnya berada dibawah derajat laki-laki. Akan tetapi Muhammad asad menerjemahkan makna qawwam dengan tanggung jawab sepenuhnya(taking full care) bukan menguasainya(rulling over) mengutip dari bukunya Lane, Lisan al-arab.      Lalu lafadz qanitat yang diterjemahkan al-jalandri dengan ‘patuh kepada laki-laki’ ditolak oleh ahmed ali.menurutnya qanitat dalam bahasa rab hanya berarti ‘tunduk kepada tuhan’ . perbedaan-perbedaan ini tentu menimbulkan sebuah pandangan yang sangat bertolak belakang mengenai kedudukan wanita. Ayat tersebut termasuk ayat muhkamat, namun sebagaimana kita tahu ayat tersebut ditafsirkan secara berlainan oleh orang yang berbeda.
Tidak ada seorang ahli dari zaman klasik maupun modern yang mengelompokkan ayat-ayat secara lengkap dan komperhensif. Ayat-ayat tentang berbagai ayat masalah social dan personal pada umumnya dimasukkan dalam ayat-ayat muhkamat karena menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda. Perbedaan ini tidak hanya terjadi pada penafsiran klasik, bahkan terjadi pada sahabat-sahabat dekat nabi. Ayat-ayat al-qur’an tidak ditafsirkan secara seragam oleh para sahabat nabi. Ibnu mas’ud, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin umar, dan lainnya, berbeda dalam memahami banyak ayat al-qur’an. Pada akhirnya yang menentukan adalah kedudukan subyektifnya(secara social, politik dan ekonomi). [10]







PENUTUP

            Semangat engineer dalam mengembangkan metodologi penafsiran al-qur’an diilhami oleh kepercayaannya bahwa islam lebih dari sekedar perangkat kepercayaan atau ritual. Islam menyatakan revolusi sosial, mencipta manusia yang berperadaban berdasarkan pada asas persamaan, keadilan dan martabat manusia. Al-qur’an sebagai pegangan hidup agama islam sudah pasti menyuarakan ide-ide keadilan dan persamaan. Penafsiran terhadapnya juga harus lebih ramah terhadap realita social. Engineer kemudian menyuarakan untuk kermbali kepada normatifitas ayat.
            Menurutnya, Sebuah ayat memiliki nilai normative yang harus didahulukan dan diperhatikan dalam penafsiran. Ini dikarenakan-menurut Engineer- ayat-ayat normative aplikasinya lebih bersifat abadi dan fundamental  daripada ayat-ayat kontekstual. Konsekuensi dari normativitas yang ada dalam ayat-ayat al-qur’an ini adalah validitasnya yang transenden. Namun begitu, teologi al-qur’an tidaklah dogmatis atau mengabaikan realitas empiris yang cenderung dinamis. Engineer juga mengingatkan bahwa seseorang harus berhati-hati dalam menyortir yang kontekstual dari yang normative, baik yang ada dalam al-qur’an maupun hadist.









DAFTAR PUSTAKA
Ø  Asghar Ali Engineer, Islam dan Pembebasan, alih bahasa Hairus Salim dan Imam Baehaqy, Cet. I (Yogyakarta: Lkis, 1993)
Ø  M. Agus Nuryatno, Islam, Teologi Pembebasan dan Kesetaraan Gender, Cet.I (Yogyakarta: UII Press, 2001)
Ø  Asghar ali Engineer,. Pembebasan perempuan. Yogyakarta: Lkis, 2003
Ø  Asghar  Ali Engineer. “Islam dan Teologi Pembebasan”  Cet. IV (Yogyakarta: Lkis, 2006)
Ø  Asghar Ali Engineer. Islam Masa Kini. Cet. I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004)


[1] Asghar ali engineer, Islam Masa kini. Hal. vi
[2] Djohan Effendi, “Memikirkan Kembali Asumsi Pemikiran Kita”, dalam kata pengatar bukunya Asghar Ali Engineer, Islam dan Pembebasan, alih bahasa Hairus Salim dan Imam Baehaqy, Cet. I (Yogyakarta: Lkis, 1993), h. Vii.
[3] M. Agus Nuryatno, Islam, Teologi Pembebasan dan Kesetaraan Gender, Cet.I (Yogyakarta: UII Press, 2001), h. 8
[4] Adapun mengenai biodata aktifitas organisasi dan kegiatan akademik pendidikan Asghar Ali
Engineer secara lengkap dapat ditemukan dalam halaman akhir dari buku “Hak-hak Perempuan dalam Islam” yang dimuat oleh editor LSPPA.
[5] Op. Cit.  Islam, Teologi Pembebasan dan Kesetaraan Gender, h. 10-11.
[6] . islam dan teologi pembebasan hal 194-195
[7] . Ali Engineer, Asghar. “Islam dan Teologi Pembebasan”  Cet. IV (Yogyakarta: Lkis, 2006) hal. 177
[8]..Ali Engineer, Asghar. Islam Masa Kini. Cet. I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004). Hal. 23
[9] . Engineer, Asghar ali. Pembebasan perempuan. Yogyakarta: Lkis, 2003. Hal 42-43
[10] . Islam dan teologi pembebasan hal 174-178

Tidak ada komentar:

Posting Komentar