A. Latar Belakang Masalah
Kitab suci Al- Qur’an sebagai hudan, seharusnya bisa diaplikasikan
dalam realitas kehidupan ini. dan salah satu dari petunjuk Al- Qur’an itu
adalah musyawarah. Dalam kehidupan
bersama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat ataupun bangsa, musyawarah
sangat diperlukan. Musyawarah memiliki posisi mendalam dalam kehidupan
masyarakat Islam. Bukan hanya sekedar sistem politik pemerintahan, tetapi juga
merupakan karakter dasar seluruh masyarakat.
Dalam Islam, musyawarah telah menjadi wacana yang sangat menarik. Karena musyawarah secara tekstual merupakan
fakta wahyu yang tersurat dan bisa menjadi ajaran normatif dalam kehidupan,
yang dalam setiap perkembangan umat manusia, musyawarah senantiass menjadi
bagian yang tak terpisahkan ditengah perkembangan kehidupan umat manusia.
penafsiran tentang musyawarah agaknya menngalami perkembangan dari waktu ke
waktu. Demikian pula pengertian dan persepsi tentang istilah musyawarah yang
padat makna mengalami evolusi. Seperti yang dijelaskan hamka bahwa evolusi itu
terjadi sesuai dengan perkembangan
pemikiran, ruang dan waktu. Dewasa ini, pengertian musyawarah dikaitkan
dengan beberapa teori politik modern, seperti sistem republik, demokrasi,
parlemen, sistem perwakilan dan berbagai aspek yang berkaitan dengan sistem
pemerintahan. Keterkaitan musyawarah dengan aspek- aspek lain merupakan suatu
indikasi bahwa ayat- ayat tentang musyawarah sangat menarik.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan pada uraian latar belakang diatas, maka permasalahan yang
dijadikan objek kajian dalam pembahasan ini adalah:
1. Bagaimana pengertian musyawarah?
2. Bagaimana konsep
musyawarah dalam Al- Qur’an?
3. Bagaimana aplikasi
musyawarah dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara?
I. PEMBAHASAN
A. Ayat Tentang Musyawarah
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ
لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ
فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ
فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ
الْمُتَوَكِّلِينَ ( أل عمران
159)
B. Makna mufrodat: Musyawarah
Istilah “musyawarah” berasal dari kata musyawarah. Ia adalah bentuk
masdar dari kata syâwara – yusyâwiru
yakni dengan akar kata syin, waw,dan ra’ dalam pola fa’ala.
Struktur akar kata tersebut bermakna pokok “ Menampakkan dan menawarkan
sesuatu” dan “mengambil sesuatu “ dari kata terakhir ini berasal ungkapan syâwartu
fulânan fi amrî: “ aku mengambil pendapat si Fulan mengenai urusanku”.[1]
Quraish syihab menyebutkan dalam tafsirnya, akar kata musyawarah terambil
dari kata (شور ) syawara yang pada mulanya bermakna “mengeluarkan madu dari sarang
lebah”. Makna ini kemudian berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu yang
dapat diambil / di keluarkan dari yang lain ( termasuk pendapat). Orang yang bermusyawarah bagaikan orang yang minum madu.
Dari makna dasarnya ini diketahui bahwa lingkaran musyawarah yang terdiri
dari peserta dan pendapat yang akan disampaikan adalah lingkaran yang bernuansa
kebaikan. Peserta musyawarah adalah bagaikan lebah yang bekerja sangat
disiplin, solid dalam bekerja sama dan hanya makan dari hal- hal yang baik saja
( disimbolkan dengan kembang), serta tidak melakukan gangguan apalagi merusak dimanapun ia hinggap dengan catatan
ia tidak diganggu. Bahkan sengatannya pun bisa menjadi obat. Sedangkan isi atau
pendapat musyawarah itu bagaikan madu yang dihasilkan oleh lebah. Madu bukan
hanya manis tapi juga menjadi obat dan karenanya menjadi sumber kesehatan dan kekuatan. Itulah
hakekat dan semangat sebenarnya dari musyawarah. Karenanya kata tersebut tidak
digunakan kecuali untuk hal- hal yang baik- baik saja.
Dalam Al- Qur’an terdapat empat kata
yang berasal dari kata kerja syâwara, yakni asyâra “
memberi isyarat”, tasyâwur ( berembuk saling menukar pendapat),
syâwir ” mintalah pendapat”, dan
syara “ dirembukkan”. Dua kata terakhir ini relevan dengan kehidupan politik atau kepimimpinan.
C. Asbabun Nuzul
Perintah bermusyawarah pada ayat diatas turun setelah peristiwa menyedihkan
pada perang Uhud, ketika itu menjelang pertempuran, Nabi mengumpulkan sahabat-
sahabatnya untuk memusyawarahkan bagaimana sikap menghadapi musuh yang sedang
dalam perjalanan dari makkah ke madinah. Nabi cenderung untuk bertahan dikota
Madinah, dan tidak keluar menghadapi musuh yang datang dari makkah. Sahabat-
sahabat beliau terutama kaum muda yang penuh semangat mendesak agar kaum muslim
dibawah pimpinan Nabi Saw atau keluar
menghadapi musuh. Pendapat mereka itu mendapat dukungan mayoritas, sehingga
Nabi menyetujuinya. Tetapi, peperangan berakhir dengan gugurnya para sahabat
yang jumlahnya tidak kurang dari tujuh puluh orang.
Konteks turunnya ayat ini, serta kondisi psikologis yang dialami Nabi dan
sahabat beliau amat perlu digaris bawahi untuk melihat bagaimana pandangan Al-
Qur’an tentang musyawarah.
Ayat ini seakan – akan berpesan kepada Nabi, bahwa musyawarah harus tetap
dipertahankan dan dilanjutkan. Walaupun terbukti pendapat yang mereka putuskan keliru.
Kesalahan mayoritas lebih dapat ditoleransi dan menjadi tanggung jawab bersama,
dibandingkan dengan kesalahan seseorang meskipun diakui kejituan pendapatnya
sekalipun[2].
Sebagaimana sebuah ungkapan:
ما خاب من استشار ولا ندم من استخار, “ takkan kecewa orang yang memohon petunjuk ( kepada Allah)
tentang pilihan yang terbaik, dan tidak juga
akan menyesal seseorang yang melakukan musyawarah.”[3]
D. Munasabah Ayat
QS Ali Imran (3): 159 merupakan satu diantara tiga ayat yang secara
langsung menjelaskan tentang musyawarah. Dua ayat lainnya adalah al baqarah
(2:233) وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ
أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ
وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا لَا
تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى
الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا
وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا
أَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ
بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ
بَصِيرٌ (233)
Yang menjelaskan tentang bagaimana seharusnya hubungan suami istri saat
mengambil keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga dan anak- anak seperti
dalam ayat ini tentang menyapih anak. Ayat ini sebagai petunjuk agar persoalan
– persoalan rumah tangga dimusyawarahkan bersama antara suami dan istri. Ayat
yang senada dengan ayat tersebut adalah وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ
أُخْرَى (attalaq , 65:6) meskipun
dengan menggunakan وَأْتَمِرُوا ( berembuklah) yang
kemudian melahirkan kata ‘ muktamar’
Ayat lainnya adalah dalam surat As-syura (42:38) وَالَّذِينَ
اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ
وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ yang menjelaskan tentang
keadaan kaum muslim madinah yang bersedia membela nabi sebagai hasil
kesepakatan dari proses musyawarah. Dalam ayat itu, musyawarah sudah menjadi
tradisi masyarakat dalam memutuskan segala perkara mereka.
QS Ali Imran (3): 159 memiliki munasabah yang erat dengan QS. Al-
Syuraa(42): 38 yang sama- sama berbicara tentang musyawarah. Sikap dan perangai
Nabi tersebut harus dicontoh umatnya, terutama ketika mereka bermusyawarah
dalam upaya mengatasi persoalan yang mereka hadapi. Baik persoalan tersebut
menyangkut masalah pemerintah dalam skop
luas maupun persoalan rumah tangga dalam skop yang lebih kecil seperti yang
ditegaskan dalam QS al Baqarah(2):233
E. Kandungan Ayat
Ayat yang menjadi pembahasan mengenai musyawarah yaitu QS Ali Imran (3):
159, turun setelah peristiwa perang uhud. Sebelum perang dilakukan, nabi
mengajak para sahabatnya untuk musyawarah tentang bagaimana menghadapi musuh.
Pada musyawarah tersebut, nabi mengikuti pendapat mayoritas sahabat, meskipun
ternyata hasilnya sungguh sangat menyedihkan karena berakhir dengan kekalahan
kaum muslimin. Setelah kejadian itulah nabi memutuskan untuk menghapus
musyawarah. Namun dengan turunnya ayat ini, Allah berpesan kepada nabi bahwa
tradisi musyawarah tetap harus dipertahankan dan dilanjutkan meski terbukti
hasil keputusannya ( kadang ) keliru.[4]
Dari ayat tersebut, dapat diambil empat sikap ideal ketika dan setelah
melakukan musyawarah:
1. Sikap lemah lembut.
Seseorang yang melakukan musyawarah, apalagi pemimpin harus menghindari tutur
kata yang kasar serta sikap keras kepala.
2. Memberi maaf dan membuka
lembaran baru. Sikap ini harus dimiliki peserta musyawarah, sebab tidak akan
berjalan baik, kalau peserta masih diliputi kekeruhan hati apalagi dendam.
3. Memiliki hubungan yang
harmonis dengan Tuhan yang dalam ayat itu dijelaskan dengan permohonan ampunan
kepada- Nya. Itulah sebabnya yang harus mengiringi musyawarah adalah
permohonan maghfiroh dan ampunan Ilahi, sebagai mana ditegaskan oleh pesan وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ
4. Setelah selesai semuanya
harus diserahkan kepada Allah, yaitu tawakkal
Beberapa sikap tersebut ideal namun sekaligus berat. Fakhrudin Ar-Razi
menangkap beberapa sikap positif dalam musyawarah
1. Musyawarah merupakan
bentuk penghargaan terhadap orang lain dan karenanya menghilangkan anggapan
paternalistik bahwa orang lain itu rendah
2. Meskipun nabi adalah
pribadi sempurna dan cerdas, namun sebagai manusia ia memiliki kemampuan yang terbatas.
Karenanya beliau sendiri menganjurkan dalam sabdanya” tidak ada satu kaum yang bermusyawarah yang tidak
ditunjuki kearah penyelesaian terbaik perkara mereka’’.
3. Menghilangkan buruk
sangka. Dengan musyawarah prasangka terhadap orang lain menjadi tereliminasi.
4. Mengeliminasi beban
psikologis kesalahan. Kesalahan mayoritas
dari sebuah hasil musyawarah menjadi tanggung jawab bersama dan lebih bisa
ditoleransi dari pada kesalahan
keputusan individu. Hal- hal positif muncul karena musyawarah menghasilkan masyurah: pendapat, nasihat, dan
pertimbangan.
E.1. Objek Musyawarah
Ayat diatas juga menjelaskan bahwa lapangan musyawarah( obyek) musyawarah(فِي الْأَمْرِ)adalah segala masalah yang belum
terdapat petunjuk agama secara jelas dan
pasti sekaligus berkaitan dengan kehidupan duniawi.
dalam Al-qur’an ditemukan dua ayat lain yang menggunakan akar kata
musyawarah, untuk memahami lapangan musyawarah.
Pertama, Al baqarah (2:233). Ayat
ini sebagai petunjuk agar persoalan – persoalan rumah tangga dimusyawarahkan
bersama antara suami dan istri.
Ayat lainnya adalah dalam surat As-syura(42:38) وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ
شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ yang menjelaskan tentang
keadaan kaum muslim madinah yang bersedia membela nabi sebagai hasil
kesepakatan dari proses musyawarah. Dalam ayat itu, musyawarah sudah menjadi
tradisi masyarakat dalam memutuskan segala perkara mereka.
Dalam soal amr atau urusan, di temukan adanya urusan yang hanya menjadi
wewenang Allah semata. Terlihat dalam jawaban Allah mengenai ruh ( baca Al-
isra’[17]:85), datangnya kiamat ( An nazi’at[ 79]: 42)demikian juga mengenai
taubat( Ali- Imran[ 3]: 128).[5]
Dari sini dapat disimpulkan bahwa persoalan- persoalan yang telah ada
petunjuknya dari Allah secara tegas dan jelas. Maka persoalan tersebut bukan
lagi masuk dalam kategori yang di musyawarahkan. Musyawarah hanya dilakukan dalam hal- hal yang belum ditentukan
petunjuknya serta soal- soal kehidupan duniawi[6].
Jika dikaitkan dengan cita- cita politik yang telah dikemukakan , maka
objek musyawarah mencakup masalah
1. Pembinaan sistem politik
2. Pengembangan dan
pemantapan agama islam dalam kehidupan masyarakat dan negara
3. Pembinaan keamanan dan
ketertiban dalam masyarakat dan negara
E.2. Subjek Musyawarah
Orang- orang yang bisa dan layak diajak musyawarah sebagaimana yang tersirat dalam Q.s. asy- Syuura: 38, bahwa setiap persoalan yang dipecahkan secara kolektif kolegial akan
memberikan manfaat dan kemaslahatan yang luas. Bahkan Islam sebagai agama
rahmatan lil alamin tidak membatasi keterlibatan non islam dalam menyumbangkan
sarannya untuk memecahkan masalah. Karena musyawarah dalam Islam itu bersifat
inklusif.
Kerja sama dalam muamalah duniawiyah, disebutkan dalam qaidah ushul, al
ashlu fi al- muamalah al- ibahah (
pada prinsipnya semua bentuk kerja sama muamalah itu diperbolehkan dan boleh
dipecahkan secara bersama dan tidak menjadi monopoli umat Islam saja) sebab
target pertama adalah membangun iklim kondusif dalam memecahkan persoalan
keumatan.
Namun demikian, dijumpai keterangan
suatu riwayat yang menjelaskan kriteria umum peserta musyawarah.
Di antara riwayat Rasulullah saw yang menjelaskan hal itu adalah:
Wahai Ali, janganlah kamu bermusyawarah dengan penakut! Karena dia justru
akan mempersempit jalan keluar. Jangan juga dengan orang yang kikir! Karena dia
hanya akan menghambat engkau dari tujuanmu. Juga tidak dengan orang yang
berambisi! Karena dia akan menciptakan keburukan bagimu. Ketahuilah wahai Ali,
bahwa sifat takut, kikir dan sifat ambisius merupakan sifat bawaan yang
semuanya bermuara para prasangka buruk terhadap Allah. (HR al-Bukhari & Muslim).
Dalam konteks persoalan-persoalan yang berkaitan dengan urusan publik, apa
yang dilakukan Rasulullah saw cukup beragam. Sekali waktu beliau pernah memilih
orang-orang tertentu yang dianggap cakap untuk masalah yang dibahas. Terkadang
melibatkan para pemuka masyarakat, bahkan menanyakan kepada semua unsur yang
terlibat di masyarakat. Dalam bermusyawarah, setiap orang harus menjunjung
tinggi etika, menghargai pendapat orang lain, mengakui kelemahan diri sendiri,
dan mengakui kelebihan orang lain. Di samping itu yang paling penting, peserta
musyawarah harus mampu menahan diri dari ingin menang sendiri. Sebab dalam musyawarah
tidak ada yang kalah dan menang. Kemenangan akan diraih ketika keputusan
terbaik telah dihasilkan. Karena itu, hendaknya setiap pimpinan senantiasa menjadikan musyawarah sebagai forum
untuk memperjuangkan nilai-nilai agama demi kemaslahatan bersama. Sebagaimana
sebuah riwayat, “Agama itu nasihat. Para sahabat bertanya: untuk siapa
nasihat itu ya Rasulallah? Beliau menjawab: untuk Allah, kitab-Nya, rasul-Nya,
para pemimpin kaum Muslim dan rakyatnya”
(HR Muslim).[7]
(HR Muslim).[7]
Bertolak dari eksistensi musyawarah sebagai metode pembinaan hukum dan dari
kenyataan sejarah, maka dapat dikatakan bahwa perintah tersebut juga ditujukan
kepada ulil amri. Yang mana mereka tidak hanya wajib bermusyawarah tetapi juga
menyelesaikan perselisihan.
Ayat - ayat yang berkaitan dengan musyawarah mengandung hikmah agar pemimpin umat islam,
lebih- lebih ulil amri, tidak boleh meninggalkan musyawarah, karena didalam
musyawarah mereka dapat memperoleh pandangan dan keinginan dari masyarakat.
Pada sisi lain, musyawarah mangandung makna penghargaan tokoh- tokoh dan
pemimpin masyarakat sehingga mereka dapat berpartisipasi dalam urusan dan
kepentingan bersama.
Esensi musyawarah adalah pemberian kesempatan kepada anggota masyarakat
yang memiliki kemampuan dan hak untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan
yang mengikat, baik dalam bentuk aturan – aturan hukum ataupun kebijaksanaan
politik. Ini bisa di pahami dari ungkapan yang digunakan yakni syawir,
bentuk imperatif dari kata kerja syâwara-
yusyâwiru, yang berimplikasi agar
pemimpin masyarakat meminta pendapat dari mereka yang mempunyai kepentingan
pada masalah yang dihadapi.
Apabila pendapat yang berkembang dalam musyawarah itu sepakat, maka
keputusan yang diambil oleh pimpinan adalah pendapat yang disepakati. Ini
diisyaratkan oleh sebuah hadits yang diriwayatkan oleh imam Ahmad, لو اجتمعتما في مشورة ما خالفتكما “Sekiranya kamu berdua sepakat dalam sebuah musyawarah, tiadalah aku
menyalahi pendapat kamu berdua”.
Kandungan lain ayat diatas berkenaan dengan moral kepimimpinan yang
diperlukan untuk mendapatkan dukungan dan partisipasi umat dan tokoh- tokohnya.
Sifat- sifat yang dimaksud adalah lemah lembut dan tidak menyakiti hati orang
lain dengan perkataan atau perbuatan, serta memberi kemudahan dan ketentraman
kepada masyarakat. Sifat- sifat ini merupakan faktor subjektif yang dimiliki
seorang pemimpin yang dapat mendorong orang lain ikut berpartisipasi dalam
musyawarah.
Dari uraian diatas diketahui bahwa musyawarah amat penting dalam kehidupan
bersama. Meskipun begitu yang terpenting adalah metode pengambilan keputusan
dalam hal terjadinya perbedaan dan perselisihan pendapat.
Pada sisi lain kenyataan menunjukkan pula bahwa musyawarah tidak hanya
dipergunakan sejalan dengan ajaran agama, bahkan sering digunakan untuk
kepentingan penguasa untuk kejayaan dan kelestarian kekuasaan mereka.
Musyawarah seperti ini telah menyimpang dari tujuan yang hendak dicapai , yakni
kebenaran atau pendapat yang lebih dekat kepada kebenaran dan kebaikan bersama.
Ini berarti diperlukan sebuah prinsip yang dapat menghindarkan penggunaan
musyawarah sebagai panggung legalisasi kepentingan sepihak.
kewajiban bermusyawarah diatas berimplikasi pada perlunya pelembagaan
musyawarah. Hal ini terlihat dalam sejarah, baik pada masa rasulullah maupun
khulafaurrasyidin. Meskipun tidak disebutkan secara resmi, namun keberadaan
tokoh sahabat yang mendampingi rasulullah dan para khalifah sebagai mitra tetap
atau tidak tetap yang dimintai pendapatnya merupakan indikator pelembagaan
musyawarah dalam sistem politik.[8]
E.3. Bermusyawarah dengan Siapa?
Persoalan yang dimusyawarahkan barangkali merupakan urusan pribadi, namun
boleh jadi urusan masyarakat umum. berkaitan dengan ayat- ayat musyawarah nabi
diperintahkan bermusyawarah dengan “ mereka “. Mereka Siapa? Tentu saja mereka
yang dipimpin oleh Nabi, yakni yang disebut umat atau anggota masyarakat.
Sedangkan ayat lain menyatakan وامرهم شورى بينهم
ini berarti yang dimusyawarah adalah persoalan yang khusus berkaitan dengan
masyarakat sebagai unit. Tetapi sebagaimana yang dipraktikkan oleh Nabi dan
para sahabanya, tidak tertutup kemungkinan memperluas jangkauan pengertiannya
sehingga mencakup persoalan individu sebagai anggota masyarakat.
Dalam konteks memusyawarahkan persoalan- persoalan masyarakat, praktik yang
dilakukan Nabi cukup beragam. Terkadang
beliau memilih orang tertentu yang dianggap cakap untuk bidang yang
dimusyawarahkan, terkadang juga
melibatkan pemuka- pemuka masyarakat, bahkan menanyakan kepada semua
yang terlibat dalam masalah yang dihadapi.
Sebagian pakar tafsir membicarakan musyawarah dan orang- orang yang
terlibat didalamnya ketika mereka
menafsirkan firman Allah dalam Al- qur’an
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ
مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ
وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا( annisa’ (4) : 59)
Dalam ayat itu terdapat kalimat ulul amr, yang diperintahkan untuk
ditaati. Kata Amr disini berkaitan dengan Amr yang disebutkan
dalam Al- Qur’an surat As-syura ayat 38(
persoalan atau urusan mereka, merekalah yang memusyawarahkan), tentunya tidak
mudah melibatkan seluruh anggota masyarakat
dalam musyawarah itu, tetapi keterlibatan mereka dapat diwujudkan melalui orang – orang tertentu yang mewakili mereka, yang oleh
para pakar diberi nama berbeda- beda sekali
Ahl Al- Hal wa Al – ‘Aqd, Ahl Al- Ijtihad dan Ahl- Syura.
Dapat disimpulkan bahwa Ahl Al- Syura merupakan istilah umum, yang
kepada mereka para penguasa dapat meminta pertimbangan dan saran. Jika
demikian, tidak perlu ditetapkan secara rinci dan ketat sifat – sifat mereka,
tergantung pada persolan apa yang sedang dimusyawarahkan.
Sebagian pakar kontemporer memahami istilah Ahl Al – Hal wa Al –‘Aqd
sebagai orang- orang yang mempunyai pengaruh ditengah masyarakat, sehingga
kecenderungan mereka kepada satu pendapat atau keputusan mereka dapat
mengantarkan masyarakat pada hal yang sama.
Muhammad Abduh memahami Ahl Al –
Hal wa Al –‘Aqd sebagai orang yang menjadi rujukan masyarakat untuk
kebutuhan dan kepentingan umum mereka, yang mencakup pemimpin formal maupun
nonformal, sipil maupun militer.
Adapun Ahl Al- Ijtihad adalah kelompok ahli dan para teknokrat dalam
berbagai bidang dan dissiplin ilmu.[9]
F. Syura dan Demokrasi
Al – qur’an dan Sunnah menetapkan beberapa prinsip pokok berkaitan dengan kehidupan politik, seperti
keadilan, tanggung jawab, kepastian hukum, jaminan haq al- ‘Ibad ( hak-
hak manusia), dan lain- lain, yang kesemuanya memiliki kaitan dengan syura atau
demokrasi.
Para pemikir muslim terbelah kebeberapa kelompok ketika membahas masalah
demokrasi dan syura. Sebagian mereka mengatakan bahwa demokrasi dan syura
memiliki nilai – nilai kesamaan. Sebagian mereka lainnya menegaskan, antara
demokrasi dan syura saling bertolak belakang, bahkan bertentangan.[10]
Terlepas dari itu semua, baik syura maupun demokrasi intinya adalah musyawarah dalam sebuah
pengambilan keputusan. Di dalamnya terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaan
itu tertuang dalam konsep nilai dan teknisnya. Islam sendiri menjadi sifat
dasar dari demokrasi, ini dikarenakan konsep syura, ijtihad dan ijma’
merupakan konsep yang sama dengan demokrasi. Sedangkan perbedaannya, lebih
kepada konsep historis.
Untuk menyiasati sekat perbedaan tersebut, Gus Dur memberikan solusi dengan
mencoba mengadakan transformasi nilai- nilai agama. Upaya yang ditempuh adalah
mengubah komitmen agama yang dari hanya bersandar pada teks normatif kepada
kepedulian terhadap nilai- nilai kemanusiaan. Agama akan dapat selaras dengan
demokrasi jika memiliki watak membebaskan. Islam hadir untuk membebaskan
umatnya berkreasi dalam menciptakan peradaban yang lebih manusiawi. Agama apapun
sama- sama mengemban misi perbaikan kehidupan umat manusia melalui perubahan
struktur masyarakat. Titik temu antara agama dan demokrasi inilah yang harus
dikedepankan sehingga pada gilirannya proses demokrasi tidak kehilangan ruh
ketuhanannya. Tidak terjebak dalam budaya menyimpang seperti hedonisme dan
meterialisme. Kalau kita lihat dari kaca mata kemanusiaan, bahwa demokrasi
(syura) [11] benar-
benar memberikan pendidikan kepada masyarakat luas tentang nilai- nilai
kejujuran, keterbukaan dan keselarasan.[12]
Esensi demokrasi dapat kita lihat dari pemilu yang diadakan untuk memilih
presiden atau pemimpin suatu negara. Bahkan kini kita telah mulai melaksanakan
pemilihan pemimpin pemerintahan tingkat
provinsi dan kota. Sistem pemerintahan seperti ini sesuai dengan ajaran Islam
yaitu yang telah diajarkan pendahulu kita dalam pemilihan khilafah, sejak
wafatnya Rasulullah.
Di Indonesia, praktek demokrasi dengan mengutamakan musyawarah merupakan
suatu bukti bahwa negara Indonesia memiliki jati diri dengan menyesuaikan
pelaksanaan demokrasi dengan kepribadian bangsa. Selain itu musyawarah mufakat
juga sesuai dengan ajaran Islam, karena
Islam mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan. Kalau kita
perhatikan dalam ormas Islam di Indonesia, misalnya saja seperti NU, kita akan
menemukan dewan Majelis syura (dewan
musyawarah) yang bertugas menampung suara- suara masyarakat. Seperti yang kita
tahu kiprah para ulama- ulama kita yang sejak zaman kemerdekaan sudah sepakat
dengan demokrasi, dengan meminjam istilah KH wahab hasbullah” bersepakat untuk
tidak bersepakat. berbeda tetapi tetapa bersaudara.
Namun yang terjadi saat ini, meskipun
Indonesia disebut sebagai negara paling demokratis didunia, tetapi lebih sering
memilih budaya voting dalam mengambil keputusan. Akibatnya, substansi dan
nilai- nilai demokrasi terabaikan. Apalagi kalau voting itu tidak jernih untuk
memilih opsi, termasuk disertai dengan penyakit paling berbahaya dalam
demokrasi, yaitu politik uang.
Praktek
demokrasi(syura) pada masa Nabi Muhammad seharusnya menjadi contoh pengalaman
terbaik bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Prinsip-
prinsip demokrasi yang di praktikkan pada masa awal Islam – dari periode
kepemimpinan Nabi hingga keempat khalifah pengganti Nabi, bisa menjadi rujukan
berharga bagi proses demokrasi di Indonesia.
PENUTUP
demikian sekilas mengenai musyawarah dalam Al- Qur’an. Agaknya dapat
disimpulkan bahwa musyawarah diperintahkan dalam Al- Qur’an, serta dinilai
sebagai salah satu prinsip hukum dan politik untuk umat manusia.
Namun demikian Al- Qur’an tidak
merinci atau meletakkan pola dan bentuk musyawarah tertentu. Paling tidak, yang
dapat disimpulkan dari teks- teks Al- Qur’an
adalah bahwa Islam menuntut adanya keterlibatan masyarakat dalam urusan yang berkaitan dengan mereka.
Perincian keterlibatan, pola dan caranya diserahkan kepada masing- masing
masyarakat, karena satu masyarakat dapat berbeda dengan masyarakat yang lain.
Bahkan masyarakat tertentu dapat mempunyai pandangan yang berbeda dari suatu
masa ke masa yang lain.
Sikap Al- Qur’an memberikan kesempatan kepada setiap masyarakat untuk
menyesuaikan sistem syura- nya dengan kepribadian, kebudayaan dan kondisi
sosialnya. Sebagaimana penggunaan sistem demokrasi sebagai manifestasi dari nilai – nilai yang terkandung dalam Syura .
Mengikat diri dengan fakta ulama dan
pakar- pakar masa lampau, bahkan pendapat para sahabat Nabi dalam persoalan
Syura atau pandangan dan pengalaman masyarakat lain, serta membatasi diri
dengan istilah dan pengertian tertentu, bukanlah sesuatu yang tepat, baik
ditinjau dari segi logika maupun pandangan agama.
Memang setiap masyarakat disetiap masa memiliki budaya dan kondisi yang
khas, sehingga wajar jika masing- masing mempunyai pandangan dan jalan yang
berbeda.[13]
REFERENSI
Lajanah Pentashihan Mushaf Al- Qur’an, Etika Berkeluarga, Bermasyarakat,
dan Berpolitik(Tafsir Al- Qur’an Tematik), Badan Litbang dan Diklat
Departemen Agama RI, 2009.
Thaha, Idris, Demokrasi Religius, Bandung:Teraju,2005.
Shihab,M. Quraish, Wawasan Al- Qur’an: Tafsir maudhu’i atas Berbagai
Persoalan Umat,Bandung: Mizan, Maret 1996, cet,ke-1.
Abdul Ghafur, Waryono, Tafsir Ayat Sosial: Mendialogkan Teks dengan
Konteks, Yogyakarta: Elsaq Press,2005.
Shihab,M. Quraish, Tafsir Al Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-
Qur’an, Jakarta: lentera hati, 2002.
[1]
Lajanah Pentashihan Mushaf Al- Qur’an, Etika
Berkeluarga, Bermasyarakat, dan Berpolitik(Tafsir Al- Qur’an Tematik),
(Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI: 2009),h. 220-221
[2]M. Quraish Shihab, Wawasan Al- Qur’an: Tafsir
maudhu’i atas Berbagai Persoalan Umat, Mizan, Bandung, h. 467
[3]
Quraish Shihab, Wawasan Al-
Qur’an, Mizan, Bandung, 1996,h.475 – 476.
[4]
Waryono Abdul Ghafur,Tafsi Ayat Sosial,
ElSAQ Press, Yogyakarta, 2005,h. 156-157.
[5]
Quraish Shihab, Wawasan Al-
Qur’an, Mizan, Bandung, 1996,h.468
[7]
http://muhammadiyahsurabaya.blogspot.com/2011/02/musyawarah-dalam-perspektif-al-quran.html Diakses pada 10 November 2012.
[8]
Lajanah Pentashihan Mushaf Al-
Qur’an, Etika Berkeluarga, Bermasyarakat, dan Berpolitik(Tafsir Al- Qur’an
Tematik), (Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI: 2009),h 223-225
[9]
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-
Qur’an: Tafsir maudhu’i atas Berbagai Persoalan Umat, Mizan,
Bandung, h.471-473.
[10]Idris Thaha, Demokrasi Religius, Teraju,
Jakarta, 2005,h. 33-34.
[11]
Terlepas dari pro dan kontra
penerimaan konsep ini di dalam Islam
[13]
Ibid, h. 484- 485
Spades for Free - Classic and Innovative Games - iTanium
BalasHapusFor the thrill ford escape titanium for sale of titanium key ring it all, the most amazing columbia titanium jacket card titanium stud earrings game to play online is Spades, a traditional four player game where you garmin fenix 6x pro solar titanium can join in on
e652e0ugfrb168 male masturbator,horse dildo,vibrators,realistic dildo,dildos,vibrators,wholesale sex doll,women sexy toys,dog dildo s877r3geujx911
BalasHapus