Minggu, 14 April 2013

MUSYAWARAH DALAM PERSPEKTIIF AL-QUR’AN



A.    Latar Belakang Masalah
Kitab suci Al- Qur’an sebagai hudan, seharusnya bisa diaplikasikan dalam realitas kehidupan ini. dan salah satu dari petunjuk Al- Qur’an itu adalah musyawarah.  Dalam kehidupan bersama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat ataupun bangsa, musyawarah sangat diperlukan. Musyawarah memiliki posisi mendalam dalam kehidupan masyarakat Islam. Bukan hanya sekedar sistem politik pemerintahan, tetapi juga merupakan karakter dasar seluruh masyarakat.
Dalam Islam, musyawarah telah menjadi wacana yang sangat menarik.  Karena musyawarah secara tekstual merupakan fakta wahyu yang tersurat dan bisa menjadi ajaran normatif dalam kehidupan, yang dalam setiap perkembangan umat manusia, musyawarah senantiass menjadi bagian yang tak terpisahkan ditengah perkembangan kehidupan umat manusia.
penafsiran tentang musyawarah agaknya menngalami perkembangan dari waktu ke waktu. Demikian pula pengertian dan persepsi tentang istilah musyawarah yang padat makna mengalami evolusi. Seperti yang dijelaskan hamka bahwa evolusi itu terjadi sesuai dengan perkembangan  pemikiran, ruang dan waktu. Dewasa ini, pengertian musyawarah dikaitkan dengan beberapa teori politik modern, seperti sistem republik, demokrasi, parlemen, sistem perwakilan dan berbagai aspek yang berkaitan dengan sistem pemerintahan. Keterkaitan musyawarah dengan aspek- aspek lain merupakan suatu indikasi bahwa ayat- ayat tentang musyawarah sangat menarik.
B.                 Rumusan Masalah
            Berdasarkan pada uraian latar belakang diatas, maka permasalahan yang dijadikan objek kajian dalam pembahasan ini adalah:
1.       Bagaimana pengertian musyawarah?
2.      Bagaimana konsep musyawarah dalam Al- Qur’an?
3.      Bagaimana aplikasi musyawarah dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara?

I.       PEMBAHASAN

A.  Ayat Tentang  Musyawarah

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ     فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ ( أل عمران 159)                   
B.     Makna mufrodat:  Musyawarah
Istilah “musyawarah” berasal dari kata musyawarah. Ia adalah bentuk masdar dari  kata syâwara – yusyâwiru yakni dengan akar kata syin, waw,dan ra’ dalam pola fa’ala. Struktur akar kata tersebut bermakna pokok “ Menampakkan dan menawarkan sesuatu” dan “mengambil sesuatu “ dari kata terakhir ini berasal ungkapan syâwartu fulânan fi amrî: “ aku mengambil pendapat si Fulan mengenai  urusanku”.[1]
Quraish syihab menyebutkan dalam tafsirnya, akar kata musyawarah terambil dari kata   (شور )  syawara  yang pada mulanya  bermakna “mengeluarkan madu dari sarang lebah”. Makna ini kemudian berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil / di keluarkan dari yang lain ( termasuk pendapat).  Orang yang bermusyawarah bagaikan  orang yang minum madu.
Dari makna dasarnya ini diketahui bahwa lingkaran musyawarah yang terdiri dari peserta dan pendapat yang akan disampaikan adalah lingkaran yang bernuansa kebaikan. Peserta musyawarah adalah bagaikan lebah yang bekerja sangat disiplin, solid dalam bekerja sama dan hanya makan dari hal- hal yang baik saja ( disimbolkan dengan kembang), serta tidak melakukan gangguan  apalagi merusak dimanapun ia hinggap dengan catatan ia tidak diganggu. Bahkan sengatannya pun bisa menjadi obat. Sedangkan isi atau pendapat musyawarah itu bagaikan madu yang dihasilkan oleh lebah. Madu bukan hanya manis tapi juga menjadi obat dan karenanya  menjadi sumber kesehatan dan kekuatan. Itulah hakekat dan semangat sebenarnya dari musyawarah. Karenanya kata tersebut tidak digunakan kecuali untuk hal- hal yang baik- baik saja.
Dalam Al- Qur’an terdapat empat kata  yang berasal dari kata kerja syâwara, yakni asyâra “ memberi isyarat”, tasyâwur ( berembuk saling menukar pendapat), syâwir ”  mintalah pendapat”, dan syara “ dirembukkan”. Dua kata terakhir ini relevan  dengan kehidupan politik atau kepimimpinan.
C.    Asbabun Nuzul
Perintah bermusyawarah pada ayat diatas turun setelah peristiwa menyedihkan pada perang Uhud, ketika itu menjelang pertempuran, Nabi mengumpulkan sahabat- sahabatnya untuk memusyawarahkan bagaimana sikap menghadapi musuh yang sedang dalam perjalanan dari makkah ke madinah. Nabi cenderung untuk bertahan dikota Madinah, dan tidak keluar menghadapi musuh yang datang dari makkah. Sahabat- sahabat beliau terutama kaum muda yang penuh semangat mendesak agar kaum muslim dibawah pimpinan Nabi Saw  atau keluar menghadapi musuh. Pendapat mereka itu mendapat dukungan mayoritas, sehingga Nabi menyetujuinya. Tetapi, peperangan berakhir dengan gugurnya para sahabat yang jumlahnya tidak kurang dari tujuh puluh orang.
Konteks turunnya ayat ini, serta kondisi psikologis yang dialami Nabi dan sahabat beliau amat perlu digaris bawahi untuk melihat bagaimana pandangan Al- Qur’an tentang musyawarah.
Ayat ini seakan – akan berpesan kepada Nabi, bahwa musyawarah harus tetap dipertahankan dan dilanjutkan. Walaupun terbukti  pendapat yang mereka putuskan keliru. Kesalahan mayoritas lebih dapat ditoleransi dan menjadi tanggung jawab bersama, dibandingkan dengan kesalahan seseorang meskipun diakui kejituan pendapatnya sekalipun[2].
Sebagaimana sebuah ungkapan:
ما خاب من استشار ولا ندم من استخار, “ takkan kecewa orang yang memohon petunjuk ( kepada Allah) tentang pilihan yang terbaik, dan tidak juga  akan menyesal seseorang yang melakukan musyawarah.”[3]

D.    Munasabah Ayat
QS Ali Imran (3): 159 merupakan satu diantara tiga ayat yang secara langsung menjelaskan tentang musyawarah. Dua ayat lainnya adalah al baqarah (2:233) وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (233)
Yang menjelaskan tentang bagaimana seharusnya hubungan suami istri saat mengambil keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga dan anak- anak seperti dalam ayat ini tentang menyapih anak. Ayat ini sebagai petunjuk agar persoalan – persoalan rumah tangga dimusyawarahkan bersama antara suami dan istri. Ayat yang senada dengan ayat tersebut adalah وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى (attalaq , 65:6) meskipun dengan menggunakan وَأْتَمِرُوا ( berembuklah) yang kemudian melahirkan kata ‘ muktamar’
Ayat lainnya adalah dalam surat As-syura (42:38) وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ yang menjelaskan tentang keadaan kaum muslim madinah yang bersedia membela nabi sebagai hasil kesepakatan dari proses musyawarah. Dalam ayat itu, musyawarah sudah menjadi tradisi masyarakat dalam memutuskan segala perkara mereka.
QS Ali Imran (3): 159 memiliki munasabah yang erat dengan QS. Al- Syuraa(42): 38 yang sama- sama berbicara tentang musyawarah. Sikap dan perangai Nabi tersebut harus dicontoh umatnya, terutama ketika mereka bermusyawarah dalam upaya mengatasi persoalan yang mereka hadapi. Baik persoalan tersebut menyangkut masalah  pemerintah dalam skop luas maupun persoalan rumah tangga dalam skop yang lebih kecil seperti yang ditegaskan dalam QS al Baqarah(2):233

E.     Kandungan Ayat
Ayat yang menjadi pembahasan mengenai musyawarah yaitu QS Ali Imran (3): 159, turun setelah peristiwa perang uhud. Sebelum perang dilakukan, nabi mengajak para sahabatnya untuk musyawarah tentang bagaimana menghadapi musuh. Pada musyawarah tersebut, nabi mengikuti pendapat mayoritas sahabat, meskipun ternyata hasilnya sungguh sangat menyedihkan karena berakhir dengan kekalahan kaum muslimin. Setelah kejadian itulah nabi memutuskan untuk menghapus musyawarah. Namun dengan turunnya ayat ini, Allah berpesan kepada nabi bahwa tradisi musyawarah tetap harus dipertahankan dan dilanjutkan meski terbukti hasil keputusannya ( kadang ) keliru.[4]
Dari ayat tersebut, dapat diambil empat sikap ideal ketika dan setelah melakukan musyawarah:
1.      Sikap lemah lembut. Seseorang yang melakukan musyawarah, apalagi pemimpin harus menghindari tutur kata yang kasar serta sikap keras kepala.
2.      Memberi maaf dan membuka lembaran baru. Sikap ini harus dimiliki peserta musyawarah, sebab tidak akan berjalan baik, kalau peserta masih diliputi kekeruhan hati apalagi dendam.
3.      Memiliki hubungan yang harmonis dengan Tuhan yang dalam ayat itu dijelaskan dengan permohonan ampunan kepada- Nya. Itulah  sebabnya  yang harus mengiringi musyawarah adalah permohonan maghfiroh dan ampunan Ilahi, sebagai mana ditegaskan oleh pesan وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ
4.      Setelah selesai semuanya harus diserahkan kepada Allah, yaitu tawakkal
Beberapa sikap tersebut ideal namun sekaligus berat. Fakhrudin Ar-Razi menangkap beberapa sikap positif dalam musyawarah
1.      Musyawarah merupakan bentuk penghargaan terhadap orang lain dan karenanya menghilangkan anggapan paternalistik bahwa orang lain itu rendah
2.      Meskipun nabi adalah pribadi sempurna dan cerdas, namun sebagai manusia  ia memiliki kemampuan yang terbatas. Karenanya beliau sendiri menganjurkan dalam sabdanya” tidak ada  satu kaum yang bermusyawarah yang tidak ditunjuki kearah penyelesaian terbaik perkara mereka’’.
3.      Menghilangkan buruk sangka. Dengan musyawarah prasangka terhadap orang lain menjadi tereliminasi.
4.      Mengeliminasi beban psikologis kesalahan. Kesalahan mayoritas  dari sebuah hasil musyawarah menjadi tanggung jawab bersama dan lebih bisa ditoleransi  dari pada kesalahan keputusan individu. Hal- hal positif muncul karena musyawarah menghasilkan  masyurah: pendapat, nasihat, dan pertimbangan.

E.1. Objek Musyawarah
Ayat diatas juga menjelaskan bahwa lapangan musyawarah( obyek) musyawarah(فِي الْأَمْرِ)adalah segala masalah yang belum terdapat petunjuk  agama secara jelas dan pasti sekaligus berkaitan dengan kehidupan duniawi.
dalam Al-qur’an ditemukan dua ayat lain yang menggunakan akar kata musyawarah, untuk memahami lapangan musyawarah.
 Pertama, Al baqarah (2:233). Ayat ini sebagai petunjuk agar persoalan – persoalan rumah tangga dimusyawarahkan bersama antara suami dan istri.
Ayat lainnya adalah dalam surat As-syura(42:38) وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ yang menjelaskan tentang keadaan kaum muslim madinah yang bersedia membela nabi sebagai hasil kesepakatan dari proses musyawarah. Dalam ayat itu, musyawarah sudah menjadi tradisi masyarakat dalam memutuskan segala perkara mereka.
Dalam soal amr atau urusan, di temukan adanya urusan yang hanya menjadi wewenang Allah semata. Terlihat dalam jawaban Allah mengenai ruh ( baca Al- isra’[17]:85), datangnya kiamat ( An nazi’at[ 79]: 42)demikian juga mengenai taubat( Ali- Imran[ 3]: 128).[5]
Dari sini dapat disimpulkan bahwa persoalan- persoalan yang telah ada petunjuknya dari Allah secara tegas dan jelas. Maka persoalan tersebut bukan lagi masuk dalam kategori yang di musyawarahkan. Musyawarah hanya dilakukan  dalam hal- hal yang belum ditentukan petunjuknya serta soal- soal kehidupan duniawi[6].
Jika dikaitkan dengan cita- cita politik yang telah dikemukakan , maka objek musyawarah mencakup masalah
1.      Pembinaan sistem politik
2.      Pengembangan dan pemantapan agama islam dalam kehidupan masyarakat dan negara
3.      Pembinaan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat dan negara
E.2. Subjek Musyawarah
Orang- orang yang bisa dan layak diajak musyawarah sebagaimana  yang tersirat dalam  Q.s. asy- Syuura: 38,  bahwa setiap persoalan  yang dipecahkan secara kolektif kolegial akan memberikan manfaat dan kemaslahatan yang luas. Bahkan Islam sebagai agama rahmatan lil alamin tidak membatasi keterlibatan non islam dalam menyumbangkan sarannya untuk memecahkan masalah. Karena musyawarah dalam Islam itu bersifat inklusif.
Kerja sama dalam muamalah duniawiyah, disebutkan dalam qaidah ushul, al ashlu fi al- muamalah  al- ibahah ( pada prinsipnya semua bentuk kerja sama muamalah itu diperbolehkan dan boleh dipecahkan secara bersama dan tidak menjadi monopoli umat Islam saja) sebab target pertama adalah membangun iklim kondusif dalam memecahkan persoalan keumatan.
Namun demikian, dijumpai  keterangan suatu riwayat yang menjelaskan kriteria umum peserta  musyawarah.
Di antara riwayat Rasulullah saw yang menjelaskan hal itu adalah:
Wahai Ali, janganlah kamu bermusyawarah dengan penakut! Karena dia justru akan mempersempit jalan keluar. Jangan juga dengan orang yang kikir! Karena dia hanya akan menghambat engkau dari tujuanmu. Juga tidak dengan orang yang berambisi! Karena dia akan menciptakan keburukan bagimu. Ketahuilah wahai Ali, bahwa sifat takut, kikir dan sifat ambisius merupakan sifat bawaan yang semuanya bermuara para prasangka buruk terhadap  Allah. (HR al-Bukhari & Muslim).
Dalam konteks persoalan-persoalan yang berkaitan dengan urusan publik, apa yang dilakukan Rasulullah saw cukup beragam. Sekali waktu beliau pernah memilih orang-orang tertentu yang dianggap cakap untuk masalah yang dibahas. Terkadang melibatkan para pemuka masyarakat, bahkan menanyakan kepada semua unsur yang terlibat di masyarakat. Dalam bermusyawarah, setiap orang harus menjunjung tinggi etika, menghargai pendapat orang lain, mengakui kelemahan diri sendiri, dan mengakui kelebihan orang lain. Di samping itu yang paling penting, peserta musyawarah harus mampu menahan diri dari ingin menang sendiri. Sebab dalam musyawarah tidak ada yang kalah dan menang. Kemenangan akan diraih ketika keputusan terbaik telah dihasilkan. Karena itu, hendaknya setiap pimpinan  senantiasa menjadikan musyawarah sebagai forum untuk memperjuangkan nilai-nilai agama demi kemaslahatan bersama. Sebagaimana sebuah riwayat, “Agama itu nasihat. Para sahabat bertanya: untuk siapa nasihat itu ya Rasulallah? Beliau menjawab: untuk Allah, kitab-Nya, rasul-Nya, para pemimpin kaum Muslim dan rakyatnya
(HR Muslim).[7]
Bertolak dari eksistensi musyawarah sebagai metode pembinaan hukum dan dari kenyataan sejarah, maka dapat dikatakan bahwa perintah tersebut juga ditujukan kepada ulil amri. Yang mana mereka tidak hanya wajib bermusyawarah tetapi juga menyelesaikan perselisihan.
Ayat - ayat yang berkaitan dengan musyawarah  mengandung hikmah agar pemimpin umat islam, lebih- lebih ulil amri, tidak boleh meninggalkan musyawarah, karena didalam musyawarah mereka dapat memperoleh pandangan dan keinginan dari masyarakat. Pada sisi lain, musyawarah mangandung makna penghargaan tokoh- tokoh dan pemimpin masyarakat sehingga mereka dapat berpartisipasi dalam urusan dan kepentingan bersama.
Esensi musyawarah adalah pemberian kesempatan kepada anggota masyarakat yang memiliki kemampuan dan hak untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan yang mengikat, baik dalam bentuk aturan – aturan hukum ataupun kebijaksanaan politik. Ini bisa di pahami dari ungkapan yang digunakan yakni syawir, bentuk imperatif  dari kata kerja syâwara- yusyâwiru,  yang berimplikasi agar pemimpin masyarakat meminta pendapat dari mereka yang mempunyai kepentingan pada masalah yang dihadapi.
Apabila pendapat yang berkembang dalam musyawarah itu sepakat, maka keputusan yang diambil oleh pimpinan adalah pendapat yang disepakati. Ini diisyaratkan oleh sebuah hadits yang diriwayatkan oleh imam Ahmad, لو اجتمعتما في مشورة ما خالفتكما   Sekiranya kamu berdua sepakat dalam sebuah musyawarah, tiadalah aku menyalahi pendapat kamu berdua”.
Kandungan lain ayat diatas berkenaan dengan moral kepimimpinan yang diperlukan untuk mendapatkan dukungan dan partisipasi umat dan tokoh- tokohnya. Sifat- sifat yang dimaksud adalah lemah lembut dan tidak menyakiti hati orang lain dengan perkataan atau perbuatan, serta memberi kemudahan dan ketentraman kepada masyarakat. Sifat- sifat ini merupakan faktor subjektif yang dimiliki seorang pemimpin yang dapat mendorong orang lain ikut berpartisipasi dalam musyawarah.
Dari uraian diatas diketahui bahwa musyawarah amat penting dalam kehidupan bersama. Meskipun begitu yang terpenting adalah metode pengambilan keputusan dalam hal terjadinya perbedaan dan perselisihan pendapat.
Pada sisi lain kenyataan menunjukkan pula bahwa musyawarah tidak hanya dipergunakan sejalan dengan ajaran agama, bahkan sering digunakan untuk kepentingan penguasa untuk kejayaan dan kelestarian kekuasaan mereka. Musyawarah seperti ini telah menyimpang  dari tujuan yang hendak dicapai , yakni kebenaran atau pendapat yang lebih dekat kepada kebenaran dan kebaikan bersama. Ini berarti diperlukan sebuah prinsip yang dapat menghindarkan penggunaan musyawarah sebagai panggung legalisasi kepentingan sepihak.
kewajiban bermusyawarah diatas berimplikasi pada perlunya pelembagaan musyawarah. Hal ini terlihat dalam sejarah, baik pada masa rasulullah maupun khulafaurrasyidin. Meskipun tidak disebutkan secara resmi, namun keberadaan tokoh sahabat yang mendampingi rasulullah dan para khalifah sebagai mitra tetap atau tidak tetap yang dimintai pendapatnya merupakan indikator pelembagaan musyawarah dalam sistem politik.[8]
E.3. Bermusyawarah dengan Siapa?
Persoalan yang dimusyawarahkan barangkali merupakan urusan pribadi, namun boleh jadi urusan masyarakat umum. berkaitan dengan ayat- ayat musyawarah nabi diperintahkan bermusyawarah dengan “ mereka “. Mereka Siapa? Tentu saja mereka yang dipimpin oleh Nabi, yakni yang disebut umat atau anggota masyarakat. Sedangkan ayat lain menyatakan وامرهم شورى بينهم     
ini berarti yang dimusyawarah adalah persoalan yang khusus berkaitan dengan masyarakat sebagai unit. Tetapi sebagaimana yang dipraktikkan oleh Nabi dan para sahabanya, tidak tertutup kemungkinan memperluas jangkauan pengertiannya sehingga mencakup persoalan individu sebagai anggota masyarakat.
Dalam konteks memusyawarahkan persoalan- persoalan masyarakat, praktik yang dilakukan Nabi  cukup beragam. Terkadang beliau memilih orang tertentu yang dianggap cakap untuk bidang yang dimusyawarahkan, terkadang juga  melibatkan pemuka- pemuka masyarakat, bahkan menanyakan kepada semua yang terlibat dalam masalah yang dihadapi.
Sebagian pakar tafsir membicarakan musyawarah dan orang- orang yang terlibat didalamnya ketika mereka  menafsirkan firman Allah dalam Al- qur’an 
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا( annisa’ (4) : 59)
Dalam ayat itu terdapat kalimat ulul amr, yang diperintahkan untuk ditaati. Kata Amr disini berkaitan dengan Amr yang disebutkan dalam Al- Qur’an  surat As-syura ayat 38( persoalan atau urusan mereka, merekalah yang memusyawarahkan), tentunya tidak mudah melibatkan seluruh anggota masyarakat  dalam musyawarah itu, tetapi keterlibatan mereka dapat diwujudkan  melalui orang – orang  tertentu yang mewakili mereka, yang oleh para  pakar diberi nama berbeda- beda  sekali  Ahl Al- Hal wa Al – ‘Aqd, Ahl Al- Ijtihad dan Ahl- Syura.
Dapat disimpulkan bahwa Ahl Al- Syura merupakan istilah umum, yang kepada mereka para penguasa dapat meminta pertimbangan dan saran. Jika demikian, tidak perlu ditetapkan secara rinci dan ketat sifat – sifat mereka, tergantung pada persolan apa yang sedang dimusyawarahkan.
Sebagian pakar kontemporer memahami istilah Ahl Al – Hal wa Al –‘Aqd sebagai orang- orang yang mempunyai pengaruh ditengah masyarakat, sehingga kecenderungan mereka kepada satu pendapat atau keputusan mereka dapat mengantarkan masyarakat pada hal yang sama.
Muhammad Abduh memahami  Ahl Al – Hal wa Al –‘Aqd sebagai orang yang menjadi rujukan masyarakat untuk kebutuhan dan kepentingan umum mereka, yang mencakup pemimpin formal maupun nonformal, sipil maupun militer.
Adapun Ahl Al- Ijtihad adalah kelompok ahli dan para teknokrat dalam berbagai bidang dan dissiplin ilmu.[9]
F.     Syura dan Demokrasi
Al – qur’an dan Sunnah menetapkan beberapa prinsip pokok  berkaitan dengan kehidupan politik, seperti keadilan, tanggung jawab, kepastian hukum, jaminan haq al- ‘Ibad ( hak- hak manusia), dan lain- lain, yang kesemuanya memiliki kaitan dengan syura atau demokrasi.
Para pemikir muslim terbelah kebeberapa kelompok ketika membahas masalah demokrasi dan syura. Sebagian mereka mengatakan bahwa demokrasi dan syura memiliki nilai – nilai kesamaan. Sebagian mereka lainnya menegaskan, antara demokrasi dan syura saling bertolak belakang, bahkan bertentangan.[10]
Terlepas dari itu semua, baik syura maupun demokrasi  intinya adalah musyawarah dalam sebuah pengambilan keputusan. Di dalamnya terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaan itu tertuang dalam konsep nilai dan teknisnya. Islam sendiri menjadi sifat dasar dari demokrasi, ini dikarenakan konsep syura, ijtihad dan ijma’ merupakan konsep yang sama dengan demokrasi. Sedangkan perbedaannya, lebih kepada konsep historis.
Untuk menyiasati sekat perbedaan tersebut, Gus Dur memberikan solusi dengan mencoba mengadakan transformasi nilai- nilai agama. Upaya yang ditempuh adalah mengubah komitmen agama yang dari hanya bersandar pada teks normatif kepada kepedulian terhadap nilai- nilai kemanusiaan. Agama akan dapat selaras dengan demokrasi jika memiliki watak membebaskan. Islam hadir untuk membebaskan umatnya berkreasi dalam menciptakan peradaban yang lebih manusiawi. Agama apapun sama- sama mengemban misi perbaikan kehidupan umat manusia melalui perubahan struktur masyarakat. Titik temu antara agama dan demokrasi inilah yang harus dikedepankan sehingga pada gilirannya proses demokrasi tidak kehilangan ruh ketuhanannya. Tidak terjebak dalam budaya menyimpang seperti hedonisme dan meterialisme. Kalau kita lihat dari kaca mata kemanusiaan, bahwa demokrasi (syura) [11] benar- benar memberikan pendidikan kepada masyarakat luas tentang nilai- nilai kejujuran, keterbukaan dan keselarasan.[12]
Esensi demokrasi dapat kita lihat dari pemilu yang diadakan untuk memilih presiden atau pemimpin suatu negara. Bahkan kini kita telah mulai melaksanakan pemilihan pemimpin  pemerintahan tingkat provinsi dan kota. Sistem pemerintahan seperti ini sesuai dengan ajaran Islam yaitu yang telah diajarkan pendahulu kita dalam pemilihan khilafah, sejak wafatnya Rasulullah. 
Di Indonesia, praktek demokrasi dengan mengutamakan musyawarah merupakan suatu bukti bahwa negara Indonesia memiliki jati diri dengan menyesuaikan pelaksanaan demokrasi dengan kepribadian bangsa. Selain itu musyawarah mufakat juga sesuai dengan ajaran Islam, karena  Islam mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan. Kalau kita perhatikan dalam ormas Islam di Indonesia, misalnya saja seperti NU, kita akan menemukan dewan  Majelis syura (dewan musyawarah) yang bertugas menampung suara- suara masyarakat. Seperti yang kita tahu kiprah para ulama- ulama kita yang sejak zaman kemerdekaan sudah sepakat dengan demokrasi, dengan meminjam istilah KH wahab hasbullah” bersepakat untuk tidak bersepakat. berbeda tetapi tetapa bersaudara.
 Namun yang terjadi saat ini, meskipun Indonesia disebut sebagai negara paling demokratis didunia, tetapi lebih sering memilih budaya voting dalam mengambil keputusan. Akibatnya, substansi dan nilai- nilai demokrasi terabaikan. Apalagi kalau voting itu tidak jernih untuk memilih opsi, termasuk disertai dengan penyakit paling berbahaya dalam demokrasi, yaitu politik uang.
            Praktek demokrasi(syura) pada masa Nabi Muhammad seharusnya menjadi contoh pengalaman terbaik bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Prinsip- prinsip demokrasi yang di praktikkan pada masa awal Islam – dari periode kepemimpinan Nabi hingga keempat khalifah pengganti Nabi, bisa menjadi rujukan berharga bagi proses demokrasi di Indonesia.

PENUTUP
demikian sekilas mengenai musyawarah dalam Al- Qur’an. Agaknya dapat disimpulkan bahwa musyawarah diperintahkan dalam Al- Qur’an, serta dinilai sebagai salah satu prinsip hukum dan politik untuk umat manusia.
 Namun demikian Al- Qur’an tidak merinci atau meletakkan pola dan bentuk musyawarah tertentu. Paling tidak, yang dapat disimpulkan dari teks- teks Al- Qur’an  adalah bahwa Islam menuntut adanya keterlibatan masyarakat dalam  urusan yang berkaitan dengan mereka. Perincian keterlibatan, pola dan caranya diserahkan kepada masing- masing masyarakat, karena satu masyarakat dapat berbeda dengan masyarakat yang lain. Bahkan masyarakat tertentu dapat mempunyai pandangan yang berbeda dari suatu masa ke masa yang lain.
Sikap Al- Qur’an memberikan kesempatan kepada setiap masyarakat untuk menyesuaikan sistem syura- nya dengan kepribadian, kebudayaan dan kondisi sosialnya. Sebagaimana penggunaan sistem demokrasi sebagai manifestasi dari  nilai – nilai yang terkandung dalam  Syura .
Mengikat diri  dengan fakta ulama dan pakar- pakar masa lampau, bahkan pendapat para sahabat Nabi dalam persoalan Syura atau pandangan dan pengalaman masyarakat lain, serta membatasi diri dengan istilah dan pengertian tertentu, bukanlah sesuatu yang tepat, baik ditinjau dari segi logika maupun pandangan agama.
Memang setiap masyarakat disetiap masa memiliki budaya dan kondisi yang khas, sehingga wajar jika masing- masing mempunyai pandangan dan jalan yang berbeda.[13]


REFERENSI
Lajanah Pentashihan Mushaf Al- Qur’an, Etika Berkeluarga, Bermasyarakat, dan Berpolitik(Tafsir Al- Qur’an Tematik), Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2009.
Thaha, Idris, Demokrasi Religius, Bandung:Teraju,2005.
Shihab,M. Quraish, Wawasan Al- Qur’an: Tafsir maudhu’i atas Berbagai Persoalan Umat,Bandung: Mizan, Maret 1996, cet,ke-1.
Abdul Ghafur, Waryono, Tafsir Ayat Sosial: Mendialogkan Teks dengan Konteks, Yogyakarta: Elsaq Press,2005.
Shihab,M. Quraish, Tafsir Al Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al- Qur’an, Jakarta: lentera hati, 2002.



[1]  Lajanah Pentashihan Mushaf Al- Qur’an, Etika Berkeluarga, Bermasyarakat, dan Berpolitik(Tafsir Al- Qur’an Tematik), (Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI: 2009),h. 220-221
[2]M. Quraish Shihab, Wawasan Al- Qur’an: Tafsir maudhu’i atas Berbagai Persoalan Umat, Mizan, Bandung, h. 467
[3] Quraish Shihab, Wawasan Al- Qur’an, Mizan, Bandung, 1996,h.475 – 476.
[4]    Waryono Abdul Ghafur,Tafsi Ayat Sosial, ElSAQ Press, Yogyakarta, 2005,h. 156-157.
[5] Quraish Shihab, Wawasan Al- Qur’an, Mizan, Bandung, 1996,h.468
[6] Quraish shihab, Al Misbah,lentera hati, Jakarta,2002 h. 244-247
[8]   Lajanah Pentashihan Mushaf Al- Qur’an, Etika Berkeluarga, Bermasyarakat, dan Berpolitik(Tafsir Al- Qur’an Tematik), (Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI: 2009),h 223-225
[9] M. Quraish Shihab, Wawasan Al- Qur’an: Tafsir maudhu’i atas Berbagai Persoalan Umat, Mizan, Bandung, h.471-473.
[10]Idris Thaha, Demokrasi Religius, Teraju, Jakarta, 2005,h. 33-34.
[11] Terlepas dari pro dan kontra penerimaan konsep ini di dalam Islam
[13] Ibid, h. 484- 485

2 komentar: