PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Sejarah mencatat betapa suatu
ketika perempuan dikenal sebagai makhluk kelas dua. Dalam masyarakat Hindu,
keadaan perempuan tidak lebih baik. Dalam ajaran Manu dinyatakan bahwa , “Wabah penyakit, kematian, racun,
ular dan api kesemuanya lebih baik dari perempuan.” Istri harus mengabdi
mengabdi pada suaminya bagaikan mengabdi pada Tuhan. Ia harus berjalan di
belakangnya, tidak boleh berbicara dsn
tidak juga maka bersamanya selain dari sisanya. Bahkan, sampai abad ke- 17,
seorang istri harus di bakar hidup-hidup pada saat mayat suaminya dibakar atau
kalau ingin tetap hidup sang istri mencukur rambutnya dan memperburuk wajahnya
bahwa dia terjamin tidak akan lagi diminati lelaki.
Kendati Eropa telah mengalami
revolusi indstri (1750) dan perbudakan telah dikumandangkan penghapusannya,
harakah dan martabat perempuan belum juga mendapat tempat yang wajar. Mereka
bekerja di pabrik-pabrik tapi gajinya lebih rendah daripada laki-laki. Bahkan,
di Inggris sampai dengan tahun 1805, mereka mengakui hak suami untuk menjual
istrinya. Perempuan masa lampau juga dinilai tidak wajar mendapat pendidikan.
Apakah dasar pembeda dari perlakuan ini? Sementara pakar berpendapat bahwa
kenyataan biologis yang membedakan lelaki dan perempuan mengantar pada lahirnya
pandangan harkat, martabat serta peran utama kedua jenis makhluk Tuhan ini.
Ada lagi yang berpendapat bahwa pembedaan
harakah dan peran lelaki dan perempuan yang berkembang di masyarakat, umat
manusia itu lebih banyak diakibatkan oleh budaya serta pandangan agama dan
kepercayaan masyarakat. Sementara itu, Agama sering kali dijadikan dalih untuk
pandangan negatife tersebut. Contohnya, dalam fenomena kepemimpinan
perempuan. Banyak dari tokoh masyarakat yang mendiskreditkan andil
perempuan dalam kepemimpinan bertolak dari doktrin agama. Apakah benar seperti
itu? Oleh karena itu, pada kesempatan
kali ini penulis akan mencoba mengulas terkait.
1.
Apa defenisi tentang pemimpin?
2.
Apa saja prinsip-prinsip kepemimpinan?
3.
Bagaimana ayat al-Qur’an memandang
kepemimpinan Perempuan?
Semoga pembahasan ini akan
bermanfaat dan menambah pandangan pembaca dan juga penulis mengenai masalah kepemimpinan
Perempuan dan segala problematika
dehumanisasi perempuan khususnya yang banyak terjadi disekitar kita.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Defenisi Pemimpin
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan
diminta pertanggungjawaban atas orang-orang yang dipimpinnya di Hari Kiamat
kelak.”[1]
Secara bahasa alam beberapa
literature disebutkan varian akar kata pemimpin , diantaranya yaitu:
a.
Imam: Asal katanya ‘Amama’ karena ia: Berada di depan (amam), mengasuh
(ummah), menyempurnakan (atammah), menenangkan (yanamma). Berkata Imam
Al-Jauhary : Imam adalah orang yang memberi petunjuk (yuqtada).[2]
b.
Amir: Yang memberi perintah (seperti dalam ayat : Amarna mutrafiha),
juga sesuatu yang mengagumkan (seperti dalam ayat : laqad ji’ta syai’an imra).[3]
c.
Waliyy: Dekat, akrab (Jalasa mimma yali=duduk dengan orang didekatnya);
tempat memberikan loyalitas (ALLAHumma man waliya min amri ummati).[4]
d.
Qadah atau qiyadah: Penggiring ternak, orang yang memberi petunjuk, pemandu
atau penunjuk jalan.[5]
e. Khalifah:
Para fuqaha’ mendefinisikannya sbg suatu kepemimpinan umum yg mencakup urusan
keduniaan & keagamaan, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi SAW yang wajib
dipatuhi oleh seluruh ummat Islam. Menurut Imam Al-Mawardi sama dengan
al-Imamah, karena inilah asal dari kepemimpinan di masa Nabi SAW, yaitu untuk
memimpin agama & keduniaan.[6]
Menurut Ibnu Khaldun yaitu penanggungjawab umum dimana seluruh urusan
kemaslahatan syari’at baik ukhrawiyyah maupun dunyawiyyah kembali kepadanya.[7]
Kata
khalifah berasal dari akar kata “kh-l-f” yang dalam al-Qur’an
disebut sebanyak 127 kali dalam 12 kata jadian. Maknanya berkisar diantara kata
kerja “Menggantikan”, Meniggalkan” atau kata benda “Pengganti” atau “Pewaris”.
Secara terminologis, kata ini mengandung setidaknya dua makna ganda. Di
satu pihak, khalifah diartikan sebagai kepala Negara dalam pemerintah
dan kerajaan Islam masa lalu, yang dalam konteks kerajaan pengertiannya sama
dengan sultan. Di lain pihak, khalifah juga bisa berarti dua macam. Pertama yang
diwujudkan dalam jabatan sultan atau kepada Negara. Kedua, fungsi
manusia itu sendiri di muka bumi sebagai ciptaan Allah yang sempurna.
Sehubungan
dengan pengertian pertama, Ulama-sarjana asal Pakistan Abu A’la al Maududi
mengarang sebuah buku yang berjudul Al-Khilafah wal Mulk. Menurutnya,
istilah khilafah berasal dari akar kata yang sama dengan khalifa, yang
berarti pemerintahan atau kepemimpinan. Khilafah, sebagai turunan dari
kata khalifah adalah teori islam tentang Negara dan pemerintahan.[8]
Lebih
lanjut Ibnu Khaldun dalam bukunya Muqaddimah, banyak berbicara mengenai khilafah,
khalifah dan Imamah [Kepemimpinan]. Dia menarik teorinya tentang khilafah
dari al-Qur’an. Dalam penjelasannya, ia antara lain mengatakan bahwa manusia
mempunyai kecenderungan alami untuk memimpin karena mereka diciptakan sebagai khalifah
Allah di muka bumi. Menurut Ibnu Khaldun, khilafah adalah
kepemimpinan. “Khilafah berubah menjadi pemerintahan berdasarkan
kedaulatan” katanya. Kalau khilafah bersifat pribadi, pemerintahan adalah
kepemimpinan yang sudah melembaga ke dalam suatu system kedaulatan. [9]
Pemimpin
dan kepemimpinan dalam islam punya rujukan naqliyah, artinya ada isyarat-isyarat
al- Qur’an yang memperkuat perlu dan pentingnya kepemimpinan dalam system
sosial. Selain itu, kepemimpinan dalam arti khalifah dan khilafah sudah
terpratekkan bahwa dalam kepemimpinan ini ada prinsip-prinsip yang harus
dilakukan yaitu adanya keadilan (al-‘adl), amanat (amanah) dan musyawarah
(syuro). Ketiga prinsip ini akan
dipaparkan pada bagian selanjutnya. [10]
2.
Prinsip-Prinsip
Kepemimpinan
Ada beberapa prinsip-prinsip
kepemimpinan yang sudah di singgung di muka. Dalam makalah ini penulis akan
mengangkat dua prinsip dasar, yaitu amanah dan ‘Adil.
1.
Amanah
Ada
ungkapan menarik bahwa “Kekuasaan itu amanah karena itu harus dilaksankan
dengan penuh amanah”. Ungkapan ini menyiratkan dua hal. Pertama, apabila
manusia berkuasan di muka bumi, menjadi khalifah, maka kekuasaan yang diperoleh
sebagai suatu pendelegasian kewenangan dari Allah dari Allah SWT. [Delegasian
of Authority] karena Allah sebagai sumber kekuasaan. Dengan demikian,
kekuasaan yang dimiliki hanyalah sekadar amanah dari Allah yang bersifat
relative, yang kelak harus dipertanggung jawabkan di hadapan-Nya.
Kedua,
karena kekuasaan itu pada dasarnya amanah, maka pelaksanaannya pun perlu
amanah. Amanah dalam hal ini adalah sikap penuh pertanggung jawaban, jujur dan
memegang teguh prinsip. Amanah dalam arti sebagai prinsip atau nilai.
Fazlur
Rahman, Guru besar di Universitas Chicago dalam bukunya Major Theme of The
Qur’an mengaitkan arti amanah ini
dengan fungsi kekhalifahan manusia. Ini bisa dipahami dari pernyataan
Allah al-Qur’an QS. Al Ahzab 33: 72.
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا
وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا.
( الأحزاب 72)
Artinya:
Sungguh aku telah menawarkan pada langit, bumi dan
gunung-gunung tetapi merka enggan menerimanya karena takut mengkhianatinya.
Tapi manusia bersedia memikulnya meskipun ia sungguh dzalim dan bodoh sekali.
[Al Ahzab/ 33: 72]
Para
Mufassir memang berbeda pendapat dalam mengartikan amanah dalam ayat
ini. Ada yang mengatakan bahwa manah di
sini diartikan “Hukum-hukum Ketuhanan” [The devine law] atau
sunnnatullah. Tetapi, ada yang mengaitkan dengan fungsi khalifah manusia.
Ini dikaitkan dengan pernyataan dalam surat al-Baqarah/ 2; 30-33 seperti
disinggung di muka. Agaknya, dasar yang dipakai manusia karena menerima amanah
ini karena ia diberi kemampuan oleh Allah yang memungkinkan mengemban amanah
itu. Kemampuan itu adalah “Wa’allama adamal al- Asma kullaha” dan Allah
mengajarkan pada Adama untuk mengeja setiap benda yang berarti pengalaman,
pengetahuan dan potensi ilmu yang dimilikinya. [11]
Dengan
demikian, amanah adalah salah satu prinsip kepemimpinan. Nabi Muhammad SAW
disebutkan memiliki empat cirri kepemimpinan. Yaitu, Shiddiq [Jujur], amanah
[Dapat dipercaya], tabhligh [Berkomunikasi dan komunikatif], dan Fathanah
[Cerdas Pengetahuan]. Ada sebuah Hadits riwayat Bukhari dan Muslim yang
menyebut istilah amanah tetapi secara jelas berintikan nilai amanah, sebagai
berikut:
“Tiap
kamu adalah penggembala [Pemimpin] dan tiap kamu akan dimintai pertanggung jawaban
dari gembalanya. Maka seorang pemimpin yang memimpin orang banyak adalah
gembala yang akan dimintai pertanggung jawaban atas gembalanya. Seorang Istri
adalah gembala rumah tangga suaminya dan ia akan dimintai pertanggung jawaban
atas gembalanya. Anak adalah gembala pada rumah tangga bapaknya dan seorang
bapak akan dimintai pertannggungjawabannya. Ketahuilah, tiap-tiap kamu adalah
pemimpin dan masing-masing kamu akan dimintai pertanggung jawaban atas
kepemimpinanya ”
Oleh
sebab itu, menurut konsep Islam, semua orang adalah pemimpin. Dan setiap
orang harus mempertanggungjawabkan tindakannya kepada sesamanya dan kepada
Tuhan di akhirat. [12]
2.
‘Adil
Pengertia’Adil
dalam budaya Indonesia sebenarnya bersumber dari agama Islam yaitu dari kata
arab “Adl”. Namun, dalam al-Qur’an pengertian adil paling tidak diwakili
oleh dua kata, yaitu ‘adl dan qisht . Dari akar kata “a-d-l”
disebut sebanyak 14 kali dalam al-Qur’an, sedangkan “q-s-t” diulang sebanyak 15 kali. Namun demikian,
dalam pembahasan ini tidak mungkin dapat diungkapkan secara detail dalam
makalah ini.
Pemerintah
atau pemimpin selalu berhadapan dengan
masyarakat yang terdiri dari kelompok-kelompok. Proses politik juga
berhadapan dengan berbagai kelompok golongan. Seorang yang terpilih
pemimpin harus mampu berdiri di atas semua golongan. Untuk itu
diperlukan sifat adil. Dalam surah al-Maidah / 5;8 ada firman yang menyebutkan
keadilan sampai tiga kali.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ
لِلّهِ شُهَدَاء بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ
تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى……….الأية.
Artinya:
“Hai
orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi saksi dengan adil. Dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap orang terhadap suatu kaum mendorong
kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah
karena adil itu lebih dekat kepada takwa…..”
Jadi,
berbuat adil adalah standar minimal bagi perilaku manusia apakah dia sebagai
saksi [dalam arti luas], penguasa, pemerintah dan pemimpin atau “orang biasa”.
Kalau menurut islam semua orang adalah pemimpin, maka secara otomatis harus
menegakkan keadilan diamanapun dia berada.[13]
3.
Kepemimpinan
Perempuan
Berbicara
mengenai perempuan dalam al-Qur’an mengaharuskan kita untuk memulai dari awal
tentang bagaimana al-Qur’an memposisikan perempuan. Ayat al-Qur’an yang
popular dijadikan rujukan dalam pembicaraan mengenai perempuan biasanya
berangkat dari dari surah al-Nisa’ ayat 1:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ
الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ
مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ
بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا.
Artinya:
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada
Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya
Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang
biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang
dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasi kamu”
Perbedaan
penafsiran di kalangan mufassir tentang penciptaan perempuan itu berangkat dari
ayat ini yaitu ketika memahami kata “nafs” . Di kalangan mufassir masa
lalu memahami kata “nafs” dengan Adam. Beberapa Ahli tafsir tersebut antara
lain seperti al-Thabari (W.130 H), al Zamakhsyari (W. 538) al Qurthubi (W.
671), Ibnu Katsir (W. 774), Jalaluddin al-Suyuti (W. 911 H) dan lain-lain.
Berangkat dari pandangan inilah kemudian muncul kesan negative terhadap
perempuan dan perempuan itu berasal dari laki-laki (Adam). Hal itu bersumber
dari penafsiran hadits riwayat al-tirmidzi dari Abu Hurairah yang menyatakan “
Saling memesanlah kamu untuk berbuat baik kepada perempuan, karena mereka
diciptakandari tulang rusuk yang bengkok” (HR. al-Tirmidzi).
Kemudian,
hadits tersebut dipahami ulama terdahulu secara apa adanya (harfiyah), namun ulama
kontemporer memahaminya secara metamoforis, bahkan ada yang menolak
keshahihan hadits tersebut. Bagi kalangan metaforis, hadits ini memeringatkan
kaum lelaki untuk memperlakukan perempuan secara bijaksana karena ada
sifat, karakter, dan kecenderungan yang tidak sama dengan lelaki. Upaya untuk
meluruskan tulang yang bengkok itu akan berakibat fatal dan kemungkinan akan
patah. [14]
[-------
ada istilah kedokteran yang menerangkan sifat kelembutan dan kekuatan lelaki
dalam kasus tertentu]
Analisis wacana gender
bertujuan untuk menghindari pemahaman antagonistic dalam waktu dan tempat.oleh
karena itu peristiwa masa lalu harus dilihat dalam konteks sejarahnya. Dalam
memahami suatu ayat kita tak boleh lepas dari memahami konstruksi social dimana
ayat tersebut diturunkan dan apa sebab turunnya.
Wacana kepemimpinan dalam prespektif islam berakar dari hasil
penafsiran surat an-nisa’ ayat 34 yang berbunyi :
الرِّجَالُ
قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ
وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ
لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ
فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ
أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا
كَبِيرًا.
.Artinya :
kaum laki-laki adalah
pemimpin bagi kaum perempuan karena allah telah melebihkan sebagian
mereka(laki-laki) atas sebagian yang lain(perempuan) dank arena
mereka(laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka .Sebab itu maka
perempuan yang saleh ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika
suaminya tidak ada oleh karena allah telah memelihara mereka (Q.S An-Nisa ayat
34)
Ayat ini banyak ditafsiri secara
tekstual sehingga terkesan sarat akan bias gender dan juga seringkali dijadikan
legitimasi atas superioritas laki-laki. Dalam tafsir mutaqoddimin karangan
ibnu katsir misalnya, lafad qowwamun pada ayat ini ditafsiri dengan
pemimpin (rois), penguasa (kabiir), hakim dan pendidik (muaddib)
bagi perempuan hal ini karena kelebihan (fadhhol) yang dimiliki
laki-laki. Ibnu katsir menambahi kelebihan tersebut adalah dalam hal keutamaan
dengan kata lain laki-laki lebih utama dan lebih baik daripada perempuan,karena
alasan ini jugalah -menurut ibnu katsir- nubuwwah dan kepemimpinan hanya
dikhususkan untuk laki-laki.[15]
Adapun dalam
tafsir Al Misbah Ustadz Quraish Shihab menerangkan, Ayat yang lalu (ayat 32)
melarang berangan-angan serta iri menyangkut keistimewaan masing-masing
manusia, baik pribadi maupun kelompok atau jenis kelamin. Keistimewaan yang
dianugerahkan Allah itu antara laki-laki dan perempuan. Kini fungsi dan
kewajiban masing-masing jenis kelamin, serta latar belakang perbedaan itu
disinggung oleh ayat ini dengan menyatakan bahwa: Para lelaki, yakni jenis
kelamin laki-laki atau suami adalah qawwamun, pemimpin dan penanggung jawab
atas para wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas
sebagian yang lain dan karena mereka, yakni laki-laki secara umum atau suami
telah menafkahkan sebagian dari harta mereka untuk membayar mahar dan biaya
hidup untuk isteri dan anak-anaknya.
Kata [الرجال]
adalah bentuk jamak dari kata [رجل]
yang biasa diterjemahkan lelaki, walaupun al
Qur’an tidak selalu menggunakannya dalam arti tersebut. Banyak ulama’ yang
memahami kata ar – rijal dalam ayat ini dalam arti para suami. Penulis tadinya,
ikut mendukung pendapat itu. Dalam buku “Wawasan al-Qur’an”, penulis kemukakan
bahwa ar-rijalu qawwamuna ‘alan nisa’, bukan berarti lelaki secara umum karena
konsideran pernyataan di atas, seperti ditegaskan pada lanjutan ayat adalah “karena
mereka [Para Suami] menafkahkan sebagian harta mereka” yakni untuk
isteri-isteri mereka.
Seandainya
yang dimaksudkan dengan kata “ lelaki’’ adalah kaum pria secara umum, maka
tentu konsiderannya tidak demikian. Lebih-lebih lagi lanjutan ayat tersebut dan
ayat berikutnya secara amat jelas berbicara tentang para istri dan kehidupan
rumah tangga.
Tetapi
kemudian penulis menemukan tulisan Muhammad Thahir Ibn Asyur dalam tafsirnya
mengemukakan satu pendapat yang amat perlu dipertimbangkan yaitu bahwa kata ar-Rijal
tidak digunakan oleh Bahasa Arab, bahkan bahasa al-Qur’an dalam arti suami.
Berbeda dengan kata [النساء]
atau [إمرأة] yang digunakan untuk makna Istri.
Menurutnya:
Penggalan awal ayat di atas berbicara secara umum tentang pria dan wanita dan
berfungsi sebagai pendahuluan bagi penggalan kedua ayat ini, yaitu tentang
sikap dan sifat isteri-isteri shalehah.
Kata [قوّامون] adalah bentuk
kata jama’ dari kata qawwam yang terambil dari kata “qama”. Kata ini berkaitan
dengannya. Perintah shalat-misalnya juga menggunakan akar kata itu. Perintah
tersebut bukan berarti perintah mendirikan shalat, tetapi melaksanakannya
dengan sempurna, memenuhi segala syarat, rukun dan sunnah-sunnahnya. Seorang
yang melaksankan tugas itu sesempurna mungkin berkesinambungan dan berulang
ulang, maka dia namai qawwam. Ayat di atas menggunakan kata jamak yakni
qawwamun sejalan dengan makna kata ar Rijal yang berarti lelaki banyak. Seringkali
kata ini diterjemahkan dengan pemimpin. Tetapi, seperti terbaca dar
maknanya di atas-agaknya terjemahan itu belum menggambarkan seluruh makna yang
dikehendaki, walau harus diakui bahwa kepemimpinan merupakan satu aspek yang
dikandungnya atau dengan kata lain, dalam pengertian “Kepemimpinan” tercakup
pemenuhan kebutuhan, perhatian, pemeliharaan, pembelaan dan pembinaan.
Kepemimpinan
untuk setiap unit merupakan suatu yang mutlak, lebih-lebih bagi setiap
keluarga. Karena mereka selalu bersama dan merasa memiliki pasangan dan
keluarganya. Persoalan yang dihadapi suami istri selalu muncul dari sikap jiwa
yang tercermin dalam keceriaan wajah atau cemberutnya, sehingga persesuaian dan
perselisihan dapat muncul seketika tapi boleh jadi sirna seketika. Kondisi seperti
ini membutuhkan adanya seorang pemimpin, melebihi kebutuhan satu perusahaan
yang bergelut dengan angka-angka bukan dengan perasaan serta diikat oleh
perjanjian rinci yang dapat diselesaikan melalui pengadilan. Nah, siapakah yang
harus memipin? Allah SWT> Mendapatkan lelaki sebagai pemimpin dengan
perttimbangan pokok yaitu.
Pertama, [بما
فضل
الله
بعضهم
علي
بعض]
karena Allah melebihkan sebagian mereka atas
sebagian yang lain, yakni masing-masing memiliki keistimewaan. Tetapi,
keistimewaan yang dimiliki lelaki lebih menunjang tugas kepemimpinan
daripada keistimewaan yang dimiliki perempuan. Di sisi lain keistimewaan
perempuan lebih menunjang tugasnya sebagai pemberi rasa damai dan tenang kepada
serta lebih mendukung fungsingnya dalam mendidik dan membesarkan anak-anaknya.
Kedua,
[بِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ] disebabkan karena mereka telah menafkahkan
sebagian harta mereka. Bentu kata kerja past tence atau masa lampau yang
digunakan ayat ini “telah menafkahkan” menunjukkan bahwa memberi nafkah
kepada wanita telah menjadi suatu kelaziman bagi laki-laki, serta kenyataan
umum dalam masyarakat ummat manusia sejak dahulu hingga kini. Sedemikian
lumrah hal tersebut sehingga langsung digambarkan dengan bentuk kata kerja masa
lalu yang menunjukkan sejak masa dahulu. Penyebutan konsideran itu oleh ayat
ini menunjukkan bahwa kebiasaan lama itu masih berlaku sampai sekarang.[16]
Salah satu hadis yang sering
dijadikan alasan untuk mendukung ayat di atas ialah, Barangsiapa yang
menyerahkan urusan mereka kepada kaum perempuan maka tidak pernah memperoleh kemakmuran.
Hadis ini dipopulerkan oleh Abu Bakrah, salah seorang mantan budak yang
dihadapkan oleh suatu kondisi sulit, dimana harus memilih antara mendukung
Ali, khalifah keempat dan suami Fatimah anak kesayangan Nabi, atau
mendukung 'Aisyah, istri kesayangan Nabi dan putri Abu Bakar, khalifah
pertama. Dalam posisi seperti ini, Abu Bakrah mempopulerkan hadis di atas.
Hadis di atas sesungguhnya
respons Nabi setelah mendengarkan Raja Persi bernama Kisra yang wafat dan
kekuasaannya digantikan oleh putrinya. Nabi memahami betul kondisi kerajaan
Persi yang tengah menghadapi musuh bebuyutannya, Kerajaan Romawi. Dan ternyata
kemudian Heraklius menginvasi Persia dan menduduki Ktesiphon. Munculnya hadis
ini ternyata juga dilatarbelakangi oleh suatu sebab khusus yang sifatnya
kondisional.
]لن يفلح
قوم ولّو أمرهم إمرأة[
“Tidak akan
Berjaya satu kaum yang mnyerahkan urusan mereka kepada perempuan” [HR. Ahmad, BUkhari, an-Nasai dan at-tmidzi melalu
Bakrah.][17]
Dalam hal ini, dunia arab
sebagai tempat turunnya Al-Qur’an dan nubuwwah dikatakan sangat berperan besar
dalam terbentuknya prespektif dan penafsiran-penafsiran yang patrialistik.
Wacana tentang perempuan yang diproduksi dunia arab secara global bersifat sektarian-rasialistik,
dalam pengertian bahwa ia memperbincangkan keabsolutan perempuan dan
menempatkannya dalam hubungan komparatif dengan keabsolutan laki-laki. Ketika
suatu pola hubungan bahwa antara kedua pihak terdefinisikan dan dari situ salah
satunya harus tunduk dan takluk kepada yang lain serta masuk secara patuh ke
dalam otoritasnya, maka biasanya pihak yang menganggap dirinya berkuasa
membangun wacana yang sektarian rasialistik dengan segala makna yang
signifikansi ketiga kata di atas(tunduk, takluk, patuh).[18]
Kontekstualisasi Ayat
Wacana Ratu Balqis dapat
dijadikan renungan bagi bangsa Indonesia yang baru saja usai menyelenggarakan
pemilihan umum. Keberhasilan Megawati Soekarnoputri meraih suara terbanyak
sudah merupakan suatu kenyataan. Persoalan yang muncul kemudian, bisakah
Megawati menjadi orang nomor satu di Republik yang dipadati oleh umat Islam?
Pertanyaan ini mempunyai bobot
yang sangat penting karena wacana konseptual mengenai kepemimpinan perempuan
belum pernah tuntas di dalam lintasan sejarah dunia Islam. Banyak sekali perempuan
kandidat pemimpin tetapi tercekal oleh efektivitas isu agama. Tidak sedikit
jumlah laki-laki kandidat pemimpin yang underdog menjadi unggulan karena
saingan terberatnya seorang perempuan. Agak ironis memang, ada yang terorbit
dan ada yang tersungkur hanya disebabkan oleh faktor jenis kelamin. Tidak
sedikit pula pemimpin perempuan (sulthanah) harus berhenti di tengah jalan karena
isu agama. Termasuk di antaranya tiga Sultanah yang pernah memerintah secara
berkesinambungan di Aceh pada abad ke-14, yaitu Sulthanah Khadijah, Sulthanah
Maryam, dan Sulthanah Fatimah akhirnya harus terputus karena fatwa Qadhi Mekah.
Alasan fatwa itu, perempuan tidak ditolerir menjadi pemimpin (sultanah) karena
dianggap menyalahi kodratnya sebagai perempuan. Padahal, Al Quran jelas-jelas
tidak membenarkan adanya diskriminasi berdasarkan etnis, ras, dan jenis kelamin
(49:13). Seorang kandidat pemimpin dari jenis perempuan, selain harus memiliki
persyaratan dan kemampuan formal juga seolah-olah harus "direstui"
oleh laki-laki.[19]
Menurut
saya:
Laki-laki dan Perempuan itu mempunyai peran
yang baik dalam sebuah meja kepemimpinan, jika standarnya tidaklah hanya ranah
public. Melainkan juga dalam ranah domestik. Bukankah adanya pendeskreditan
perempuan dalam hal kepemimpinan, itu dikarenaka atas anggapan bahwa kesuksesan
pada ranah domestic tidaklah hal yg terdepan? Toh, bukannya kesuksesan bangunan
masyarakat itu berawal dari unit terkecil yaitu keluarga. HIDUP PEREMPUAN.
HIDUP PEJUANG SEJATI, IBU
Ex:
Sayyidah Khodijah, Sayyidah Aisyah, Ibunda Imam Syafi’I and…. Our beloved
Mother, he he
Do U agree with me???
Do U agree with me???
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Al Qur’an adalah firman Allah
SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman umat manusia dalam
menata kehidupannya agar memperoleh kebahagiaan lahir dan bathin di dunia dan
di akhirat kelak. Konsep-konsep yang ditawarkan al Qur’an selalu relevan dengan
problema yang dihadapi manusia karena-al Qur’an turun berdialog dengan setiap
umat dalam segala zaman sekaligus menawarkan pemecahan masalah terhadap
problema yang dihadapi.
Konteks sosial ketika suatu ayat
diturunkan seharusnya perlu diperhatikan. Al-Quran diturunkan dengan latar
belakang sosio-historis Arab, maka kita harus sadar bahwa al-Quran adalah
respon Ilahi terhadap kultur Arab(yang patriarkis), karenanya yang harus kita
cari dari ayat-ayat Al-Qur’an adalah semangat ideal moral yang lebih luas yang
bisa diterapkan disegala masa dan tempat. Berkenaan dengan posisi wanita, yang
harus kita cari adalah semangat egaliter yang sering ditekankan Al-Qur’an.
Bertumpu pada prinsip itulah,
sangat ironi jika perempuan di anggap sebagai makhluk kelas dua. Hak-hak dan
martabat mereka selalu dibatasi hanya pada ranah domestik. Dikarenakan banyak
teks-teks agama ketika dibaca secara literal akan melahirkan penafsiran yang
mendiskreditkan kedudukan dan perempuan dalam lingkup yang lebih luas.
Dengan doktrin tersebut pula superioritas laki-laki begitu menonjol dalam
setiap lini kehidupan. Akan tetapi, saat kita bisa lebih komprehensif dalam
menafsiran setiap ayat-ayat al Qur’an maka sebuah keniscayaan dapat dipahami
bahwa al Qur’an memang sholih likulli zaman dan bentuk rahmat
bagi semesta alam.
Perempuan dan Laki-laki pada hakikatnya sama dihadapan Allah. Yang
membedakan hanya ketakwaan mereka yang termanifestasi dalam amal atau sikap
yang saleh. Kesadaran seperti ini sangat penting untuk menghindari diskriminasi
dan distorsi peran wanita dalam kehidupan keluarga maupun sosial.
DAFTAR PUSTAKA
-
Al Munawar, Said Agil Husain, Al-Qur’an
membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Ciputat: PT Ciputat Press, 2005
-
Shihab, M Quraish, PEREMPUAN, Tangerang:
Lentera Hati, 2005.
-
Hasan, Dr Hamka, Tafsir Gender Studi
Perbandingan antara Tokoh Indonesia dan Mesir, Diterbitkan oleh: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI,
2009.
-
Muhtarom, “Perempuan dalam Pandangan
Mufassir Indonesia” Journal Teologia: Volume 15, Nomor 1, Januari 2004.
[1]
HR Bukhari, XXII/43 no. 6605; Muslim, IX/352
no. 3408
[2] Lisanul Arab, Ibnu Manzhur, XII/22
[3] Lisanul Arab, III/370
[4] Ash-Shihah fil Lughah, Al-Jauhary, I/22
[5] Al-Qamus Al-Fiqhi, I/388
[6] Al-Ahkam as-Sulthaniyyah,
Al-Mawardi, hal.3
[7] Al-Muqaddimmah, Ibnu Khaldun, hal.180
[8]
Said Agil Husain Al Munawar, Al-Qur’an
membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Ciputat: PT Ciputat Press, 2005, H. 194
[9]
Ibid, H. 196
[10]Said Agil Husain Al Munawar, Al-Qur’an
membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Ciputat: PT Ciputat Press, 2005,
H. 197
[11]Said Agil Husain Al Munawar, Al-Qur’an
membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Ciputat: PT Ciputat Press, 2005,
200
[12]Said Agil Husain Al Munawar, Al-Qur’an
membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Ciputat: PT Ciputat Press, 2005
203
[13]
Said Agil Husain Al Munawar, Al-Qur’an
membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Ciputat: PT Ciputat Press, 2005 [Resume
hal 203-207]
[15]
292, تفسير
القرآن العظيم للامام
أبو الفداء إسماعيل بن عمر بن كثير القرشي الدمشقي, دار طيبة للنشر والتوزيع
[16]
Shihab. M Quraish, Tafsir Al- Misbah, Pesan,
Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Lentera Hati; 2000
[18]
Nasr Hamid Abu zayd,Dekonstruksi Gender,.(Jogjakarta:
Samha, 2003) hlm. 1
[19] Nasharuddin Umar
[http://groups.yahoo.com/group/melb-disc/message/914]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar